Kamis, 14 Mei 2009

PEMUDA HKBP DIPILIH UNTUK BERBUAH

PEMUDA HKBP DIPILIH UNTUK BERBUAH
(YOHANES 15:16)[1]
(artikel ini dibawakan pada Seminar Youth Camp 2008)

Pendahuluan


Thema Youth Camp 2008 ini menjadi sangat relevan ketika masyarakat mempertanyakan eksistensi dan kiprah pemuda gereja akhir-akhir ini. Memang secara defacto ada berbagai organisasi pemuda gereja, namun belum terdengar gaungnya ditengah-tengah pergumulan bangsa dan negara. Secara khusus, pemuda HKBP belum menunjukkan kiprahnya dalam reformasi tatanan sosial politik kemasyarakatan pasca Orde Baru. Oleh karena itu, thema kemah pemuda saat ini patut digumuli secara alkitabiah, dan membangun refleksi aktual, yang mendorong pemuda HKBP memacu pelayanan dan kesaksiannya di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Sebagaimana Gereja membangun dan mengimplementasikan visi panggilannya berdasarkan firman Tuhan yang mengatakan: “Akulah yang memilih kamu, dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” (Yoh. 15:16). Maka, demikianlah pemuda gereja seyogianya membangun dan mengimplementasikan visi panggilannya dalam berbagai karya nyata, yang sungguh-sungguh dapat mejadi berkat bagi semua. Pergumulan dan Peluang Pemuda Masa Kini Sebagai gereja masa depan (the Churchmen of tomorrow), maka pemuda gereja perlu membangun spiritualitas yang benar-benar mampu menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di tengah-tengah perubahan zaman. Gereja yang tidak membekali pemudanya dengan spiritualitas murid Yesus yang sejati (Matius 28:19) tidak akan dapat berdiri sebagai saksi Kristus. Gedung-gedung gereja yang megah saat ini, sebagaimana telah dialami oleh saudara-saudara kita di Barat, akan menjadi monumen bisu dengan fungsi yang sama sekali jauh dari makna bait suci yang sesungguhnya. Sering kali kita mendengar ungkapan bahwa “pemuda adalah bunga-bunga gereja.” Pertama-tama hal itu menggambarkan sifat atau kharakter pemuda yang penuh daya tarik, dan hal-hal yang menyenangkan. Kedua, menggambarkan masa depan yang penuh tantangan, di mana tingkat persaingan semakin tinggi, perubahan nilai-nilai dan gaya hidup yang semakin variatif serta kompleks. Oleh karena itu, pemuda gereja perlu memetakan konteks panggilannya pada awal millenium ketiga saat ini. Ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian serius dalam upaya memetakan konteks panggilan pemuda HKBP saat ini. Pertama, Pemuda HKBP perlu memahami panggilannya dalam konteks budaya dan adat istiadat yang berakar kuat dalam tradisi gereja. Pemuda HKBP akhir-akhir ini cenderung abai terhadap kultur Batak yang mengakar di dalam kehidupan bergereja. Apabila pemuda HKBP tercerabut dari akar budayanya, maka hal itu akan menjadi kendala yang serius dalam mengartikulasikan aspirasi dan misi yang diemban di pundak pemuda gereja. Adat dan budaya Batak acap kali dilihat sebagai kendala bahkan hambatan yang perlu disingkirkan agar pemuda gereja bebas mengaktualisasikan diri di tengah-tengah jemaat dan masyarakat. Hal itu tidak perlu terjadi apabila pemuda gereja mampu mengapresiasi nilai-nilai budaya dan adat Batak, yang selama ini terbukti mampu merekat dan mendinamisir persekutuan dan pelayanan HKBP dari waktu ke waktu. Kehadiran HKBP di Singapura, Los Angeles, New York, dan di berbagai penjuru dunia, itu tidak terlepas dari kultur dan tradisi Batak yang melekat dalam diri setiap warga jemaat HKBP. Sebab, ke mana masyarakat Kristen Batak pergi, mereka turut serta membawa gerejanya, HKBP. Apa artinya itu? Pemuda HKBP benar-benar terpanggil untuk membekali diri dengan pemahaman budaya dan adat Batak yang baik dan benar di dalam terang firman Tuhan. Sebagaimana dikemukakan secara panjang lebar oleh Samuel P. Huntington (2002:111-121), bahwa memudarnya dominasi budaya barat, bukan saja berdampak pada menguatnya akar budaya lokal, tetapi juga potensil menimbulkan benturan budaya pada generasi muda. Sebab tingkat mobilisasi orang-orang muda dan penguasaan teknologi yang tinggi, tanpa dibarengi spiritualitas yang sehat dan benar akan mudah ditunggangi oleh kaum fundamentalist, sehingga sangat potensil melahirkan generasi muda yang ekstrim[2]. Generasi muda yang terperangkap dalam arus fundamentalisme sempit seperti itu tidak akan dapat berbuah, dan mustahil menjadi berkat bagi masyarakat dan bangsa. Pemuda HKBP perlu banyak belajar tentang kearifan lokal, khususnya yang berakar dalam budaya dan adat Batak. Hal itu akan sangat bermanfaat untuk mereduksi fanatisme sempit dalam kehidupan beragam. Yesus sendiri dalam masa muda-Nya menunjukkan perhatian dan apresiasi yang tinggi terhadap adat dan budaya Yahudi. Sehingga dalam memenuhi panggilan-Nya, (sebagai Mesias di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya yang menderita dalam berbagai aspek kehidupan), Yesus dengan mantap menerjemahkan kasih Allah di dalam adat istiadat nenekmoyang-Nya. Hal itu ditunjukkan oleh Yesus, misalnya dalam kehadirannya di pesta Kana (Yohanes 2:1-11), di mana Yesus mengubah air menjadi anggur yang terbaik bagi tuan rumah yang nyaris kehilangan harga diri karena kekurangan anggur. Lihatlah, bahwa Yesus hadir memberikan buah pelayanan yang membebaskan orang dari rasa malu dan cemooh. Secara eksistensial, pemuda HKBP terpanggil untuk mengubah berbagai kelemahan, kecemasan, dan keprihatinan sosial menjadi kesuksesan, kekuaan dan kebanggaan masyarakat, bangsa dan negara. Kedua, abad 21 yang dikenal dengan era globalisasi dan informasi memberikan peluang yang besar dan luas bagi pergaulan muda/mudi dengan wawasan global. Sebab, pergaulan lintas budaya dan agama memungkinkan muda-mudi gereja mengenal berbagai kemajuan dalam berbagai bidang, kemudian menarik banyak nilai-nilai positif untuk pengembangan diri dalam karier. Namun, satu hal yang patut dicermati adalah menguatnya kecenderungan untuk melepaskan nilai-nilai lokal dan mengambil alih nilai-nilai global secara gegabah. Sehingga tidak jarang yang terjadi justru bukan pengembangan diri, melainkan kebingungan atau anomali kebudayaan dan religiositas yang mengaburkan spiritualitas pemuda Kristen yang mengarah kepada sinkritisme modern. Hal itu dapat dengan mudah diamati dalam kehidupan pemuda Gereja metropolis, yang dengan mudah dan tanpa beban telah mengalami perubahan gaya hidup menjadi sangat individualistik, liberalistik, materialistik, konsumeristik dan hedonistik. Sepertinya, era globalisasi dan informasi telah disalah-manfaatkan kaum muda untuk memprotes dan memberontak terhadap nilai-nilai tradisional yang dianggap menekan emansipasi, membelenggu kebebasan berekspressi dan aktualisasi diri yang dikontrol sangat ketat oleh orangtua. Akibatnya, era globalisasi dan informasi acap kali dimaknai kaum muda sebagai kesempatan untuk membentuk komunitas kecil yang bersifat eksklusif, gaya hidup selebritis, seks bebas, suka minum alkohol dan mengkonsumsi narkoba, dengan harapan memberikan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Sehubungan dengan itu, sebaiknya pemuda HKBP duduk bersama merenungkan panggilan Tuhan untuk menghasilkan buah yang lebat dengan membangun komunikasi dan jaringan kerja yang luas. Pemuda HKBP hendaknya memiliki sense of crisis dan sense of urgency di dalam pusaran arus globalisasi dan informasi, agar tidak dikacaukan oleh nilai-nilai global yang diwarnai oleh neo-liberalisme. Neo-liberalisme memperkenalkan kebahagiaan dan harga diri terletak di dalam kesuksesan ekonomi dan kekuasaan politik.[3] Pemuda HKBP perlu menyadari kenyataan yang dihadapi oleh kaum muda Indonesia saat ini secara umum dan pemuda gereja secara khusus. Pada dekade pertama abad 21 ini, paling tidak ada 7 masalah dan tantangan yang dihadapi oleh kaum muda di Indonesia, yaitu keretakan hidup berbangsa dan formalisme agama, korupsi yang merata dari pusat hingga daerah, kemiskinan, pengangguran, premanisme, ketidakadilan genderj dan kekerasan dalam rumah tangga, serta masalah narkotika dan obat terlarang (Philips Tangdilintin, 2008:39-68). Oleh karena itu, pemuda gereja perlu memelihara sense of crisis agar mampu membangun solidaritas sosial dan tidak terbuai dengan kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh kemajuan zaman yang semakin kapitalistik. Secara khusus, solidaritas pemuda gereja perlu dibangun untuk menangani depressi yang dialami oleh kaum muda karena tingkat pengangguran yang setiap tahun meningkat. Pada tahun 2003, misalnya dari 100 juta angkatan kerja, terdapat sekitar 40 juta penganggur; pada tahun 2006 melonjak menjadi 10,8 %. Angka itu cenderung akan semakin meningkat pasca kenaikan harga BBM. Beban ekonomi rakyat yang sedemikian berat akan meningkatkan jumlah anak-anak putus sekolah, yang pada gilirannya menjadi anak-anak terlantar. Sebab, kemiskinan juga terus meningkat. Sebagaimana telah diingatkan oleh badan PBB, bahwa saat ini masih ada 1,5 milyar orang yang hidup dari 1 US dollar per hari. Kondisi di Indonesia sendiri, apabila mengikuti kriteria Bank Dunia, maka kemiskinan di Indonesia meliputi 108, 78 juta penduduk yang hidup dengan biaya kurang dari 2 US dollar per hari/per orang. Semua itu terjadi oleh karena kebijakan pembangunan nasional belum berpihak pada rakyat miskin, terutama petani, nelayan, dan buruh, melainkan berpihak kepada para kapitalis (Tangdilintin, 2008: 44-46). Artinya, pemuda gereja tidak boleh terlena dengan hiruk pikuk agenda globalisasi yang kapitalistik, ataupun bingung di tengah jalan buntu oleh karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Tetapi pemuda gereja harus mampu mengembangkan diri sebagai agen pembaru (agent of change). Pemuda HKBP sudah waktunya mengembangkan diri sebagai pusat pencerahan dan ispirasi bagi banyak remaja dan pemuda yang terlena oleh daya tarik produk-produk era globalisasi. Oleh karena itu, panggilan pemuda HKBP untuk menghasilkan buah harus diterjemahkan dengan pemberdayaan kaum muda untuk mengembangkan kreativitas dan prakarsa pembangunan. Pemuda HKBP perlu mengorganiser diri secara sinergis untuk mengoptimalkan pembentukan kharakter pembaharu yang militan di tengah-tengah arus globalisasi. Sejarah mencatat bahwa revolusi dan reformasi besar biasanya terjadi melalui mobilisasi orang-orang muda yang mengalami pencerahan intelektual, politik dan spiritual, kemudian menyadari berbagai kelemahan ajaran dan kebijakan tradisional, yang menghambat kemajuan serta membelenggu kebebasan individu (Huntington, 2002:116,119). Ketiga, menguatnya individualisme dan materialisme merupakan fenomena global yang perlu mendapat kajian pemuda gereja dalam mendisain pelayanan yang berdimensi spiritual. Artinya, gejala-gejala kehidupan bergereja di negara-negara kaya akan menjadi kenyataan yang tidak dapat ditunda dalam masyarakat kita pada abad ke-21 ini, di mana menguatnya individualisme bukan saja mempengaruhi sikap enggan mencampuri pribadi orang lain, tetapi lebih jauh dari situ, adalah semakin menguatnya keinginan untuk menentukan pilihan pribadi tanpa harus terbeban dengan penilaian orang lain, baik keluarga maupun masyarakat umum. Peter Marber secara mendalam menganalisis fenomena bergereja di negara-negara kaya, bahwa penurunan secara drastis jumlah orang yang menghadiri kebaktian di gereja, terutama oleh orang-orang muda, adalah merupakan hasil dari suatu pilihan pribadi dari suatu masyarakat individualistik. Persentase orang Amerika yang dilaporkan datang ke gereja (beribadah) paling tidak satu kali satu bulan, ternyata turun dari 60 % pada tahun 1981 menjadi 55 % pada tahun 1998, bahkan dalam survey yang berbeda dalam 25 tahun ini agaknya penurunan sudah mencapai 10-12 %. Sedangkan di Australia, tingkat kehadiran orang beribadah turun dari 40 % pada tahun 1981 menjadi 25 % pada tahun 1998 (Peter Marber, 2003:98-99). Di Indonesia, hal itu tidak mudah dianalisis, sebab secara kwantitatif jumlah jemaat yang beribadah di gereja tatap tinggi, namun bila dihitung dari total seluruh warga jemaat yang terdaftar, maka sebenarnya persentase jumlah warga jemaat yang tidak datang beribadah mungkin bekisar di antara 35-50 %. Adalah suatu fenomena umum di gereja-gereja kita, bahwa setelah pelajar katekisasi sidi (parguru manghatindangkon haporseaon) menyelesaikan kursusnya, maka sekitar 50-70 % tidak datang lagi ke gereja, memang sebagian karena melanjutkan studi ke luar daerah, tetapi di perantauan (tempat studinya) pun mereka tidak aktif lagi. Ada indikasi yang kuat bahwa menurunnya semangat bergereja kaum muda, bukan saja karena faktor globalisasi yang merasuki kaum muda dengan roh individualisme dan materialisme, tetapi terutama oleh karena formalisme agama. Di mana penghayatan agama yang dangkal dan bersifat ritual-seremonial, tidak lagi dihayati sebagai nilai dan sikap hidup pribadi maupun umat Allah. Orang muda masih tetap datang ke gereja dengan jumlah yang signifikan, tetapi apa yang didengar dan dilakukannya di dalam ibadah sama sekali tidak mempengaruhi gaya hidup dan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, panggilan Tuhan untuk berbuah mestinya diterjemahkan juga dengan membina persekutuan pemuda HKBP yang dinamis dan intens mendalami relasi vertikal (kehidupan beriman) yang mendorong penguatan relasi horizontal (kehidupan sosial-kemasyarakatan). Artinya, kebaktian dan persekutuan pemuda HKBP hendaknya mendorong pemuda/i gereja semakin dekat kepada Tuhan, dan juga semakin dekat dengan sesama jemaat dan masyarakat sekitar. Membina Pemuda yang Berbuah Lebat Pergumulan dan peluang pemuda gereja masa kini yang digambarkan di atas menuntut suatu redefinisi dan reformasi pemuda gereja secara kontekstual. Sudah waktunya gereja memandang pemuda sebagai bagian integral dari persekutuan jemaat. Pemuda gereja bukan lagi sebatas the churchmen of tomorrow, melainkan juga sebagai komponen masa kini (the churchmen of today) yang memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dengan orangtua atau anggota jemaat yang sudah berkeluarga. Secara ekklesiologis, jelas bahwa setiap orang yang telah naik sidi telah memiliki hak untuk ikut serta dalam perjamuan kudus, sebagai simbol dari kematangan spiritual untuk menghayati relasi vertikal di dalam kehidupan bersama orang-orang kudus dan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana diserukan oleh kaum muda Australia pada suatu Youth Convention di Sydney, 1982: “Today is ours! The hope of today is in our hands. Give us our share of today and only then will we be ready to meet and shape the future.” “Hari ini adalah milik kami! Harapan hari ini terletak di tangan kami. Beri kami kesempatan berperan hari ini, dan hanya dengan cara itu kami akan siap menyongsong dan menaa hari esok.” (Tangdilintin, 2008:34). Artinya, apabila pemuda gereja diharapkan berbuah lebat, maka gereja tidak boleh tidak mesti memperlengkapi dan melatih pemuda gereja untuk memahami panggilannya sesuai dengan kharakter kaum muda di tengah-tengah tantangan globalisasi saat ini. Pertama, pemuda gereja harus lebih konsern menanganai masalah penghayatan iman yang operasional, dalam arti tidak cukup lagi pendalam alkitab yang bersifat intelektual semata, melainkan mampu memahami kehendak Tuhan dari lubuk hati yang terdalam. Secara intelektual bisa saja orang muda menganggap bahwa adat dan budaya Batak sebagai warisan nenekmoyang yang tidak relevan lagi dengan pergumulan gereja masa kini. Namun, justru Kristus sendiri memenuhi panggillan-Nya di tengah-tengah dunia ini bukan saja mengapresiasi adat dan budaya nenekmoyang-Nya, tetapi turut ambil bagian dalam memelihara adat dan budaya bangsa-Nya untuk kesejahteraan semua orang. Spiritualitas kita yang sesungguhnya baru akan menjadi jelas ketika kita mengambil sikap dan respon yang baik dan tepat atas semua realitas kehidupan yang semakin hari semakin tidak sesuai dengan rencana agung penciptaan, yang “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Sesungguhanya, panggilan untuk berbuah dalam Yohanes 15:16 pertama-tama mengajak kita untuk memeriksa relasi kita dengan Kristus. Sebab, tanpa relasi vertikal yang benar dengan Kristus, maka pemuda gereja tidak akan mampu berbuah lebat. Sebagaimana dikatakan oleh Yesus: “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:4-5). Implikasinya adalah orientasi pembinaan harus diarahkan pada character building, melalui proses internalisasi nilai-nilai moral, kultural dan spiritual, sehingga akan lahir suatu generasi gereja yang memiliki kepribadai utuh, dalam arti menadari identitasnya sebagai warga masyarakat dan jemaat pada satu sisi, dan sebagai warga kerajaan sorga yang telah dikuduskan dan dipersekutukan di dalam Kristus pada sisi lain. Oleh karena itu, pemuda gereja harus mengembangkan persekutuan pembacaan/pendalaman Alkiab, tidak boleh lagi berkumpul hanya untuk latihan paduan suara, walaupun itu juga penting. Direktur Pembinaan Pemuda Gereja sudah harus memiliki program pendalaman iman di setiap wilayah pelayanan HKBP. Gereja juga harus secara terbuka mengkaji bentuk-bentuk kebaktian yang bersifat reflektif dan dapat menuntun pemuda menghayati imannya secaa atraktif dan meditatif. Rancangan kebaktian khusus kaum muda hendaknya mampu membangun kesadaran akan pentingnya persekutuan dan kebersamaan dengan jemaat, penghargaan dan kepercaan diri sendiri, dan memiliki komitmen yang kuat untuk menyaksikan imannya di tengah-tengah realitas kehidupannya sehari-hari. Artinya, di mana pun seorang pemuda HKBP berada dengan profesi apa pun, maka di sana ia mampu mengaktualisasikan diri sebai warga jemaat yang bertanggungjawab sebagai saksi Kristus. Kedua, pemuda gereja yang berbuah lebat membutuhkan pelatihan yang menghasilkan ketaatan sebagai seorang sahabat. Menarik sekali memperhatikan di sini, bahwa ketaatan yang dimaksud bukan saja karena disiplin yang ketat, tetapi malah ketaatan yang didasarkan oleh kasih persaudaraan (philia). Di mana kasih seorang sahabat bukan saja menunjukkan solidaritas sosial yang tinggi, tetapi pengorbanan yang sempurna dengan menyerahkan nyawa sendiri. Kesediaan mengorbankan nyawa sendiri bagi seorang sahabat adalah gambaran dari pengosongan diri yang dilakukan Yesus ( Filipi 2:7-11). Artinya, kepribadian seorang pemuda gereja, yang sungguh-sungguh bersedia mengorbankan nawanya, sudah pasti bersih dari segala virus egoisme dan individualsme yang merasuki manusia pada zaman postmodern saat ini. Orang yang mampu mengorbankan nyawanya demi sahabat-sahabatnya adalah mereka yang tidak akan keberatan untuk memenuhi panggilannya secara all out, tuntas dan berkelanjutan. Pemuda HKBP sudah waktunya merevitalisasi mottonya: “Masitangiangan, Masiurupan, Masihaposan.” Motto itu hanya akan bertumbuh dan operasional dalam persekutuan orang-orang yang benar-benar dipersatukan dalam Tubuh Kristus. Hanya di dalam Kristus orang Kristen umumnya, dan pemuda gereja khususnya dapat hidup sebagai komunitas yang saling mendoakan, saling membantu dan saling percaya. Di luar persekutuan dengan Kristus, pemuda gereja melihat sesamanya sebaagai saingan, yang harus dikalahkan, dan tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, pelayanan terhadap pemuda gereja pada dasarnya juga mesti dilakukan dengan sentuhan cinta kasih sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus. Pelayanan terhadap kaum muda acap kali mengalami kegagalan atau paling tidak jalan ditempat, oleh karena para majelis dan orangtua memandang pemuda gereja sebagai pembantu, yang dianggap anak bawang, dan belum layak dipercaya untuk tugas pelayanan jemaat. Pelayanan terhadap kaum muda tanpa cinta kasih akhirnya menjadi pelayanan asal jadi, tanpa orientasi yang jelas. Oleh karena itu, pemuda gereja yang diharapkan berbuah lebat mesti diberi kepercayaan dan tanggungjawab untuk mengeksplorasi segala potensi yang ada di dalam jemaat, serta mendorong mereka berperan sosial aktif. Gereja perlu mendorong pemuda untuk menumbuh-kembangkan kepekaan sosial politik, secara khusus memperjuangkan hak azasi manusia tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, bahasa, budaya dan agama mana pun. Ketiga, panggilan untuk berbuah lebat bagi pemuda HKBP pada saat ini harus dipahami dalam konteks persahabatan lintas sosial budaya, di mana segala bentuk diskriminasi ditiadakan, sehingga hubungan sosial berlangsung sejajar dan penuh kasih persaudaraan. Persekutuan nir-subordinat tersebut berpusat pada Kristus. Di dalam Kristus semua orang berada pada jari-jari lingkaran yang sama dan sebangun. Eksistensi dan kiprah pemuda HKBP baru akan berdampak dalam perputaran roda kehidupan sosial politik apabila semua anggota sama-sama bergerak dalam pelayanan yang saling membangun (masiurupan) di dalam poros pelayanan gereja secara institusional. Oleh karena itu, pemikiran yang memandang pemuda HKBP membangun persekutuan dan pelayanan yang bersifat independen, seperti halnya organisasi pemuda sekuler sejenis KNPI, HMI atau GMKI sekalupun, bukanlah yang dimaksudkan oleh Yesus. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemuda gereja merupakan komponen gereja itu sendiri. Gereja sebagai perwujudan Tubuh Kristus di tengah-tengah dunia ini hidup dan berkarya dalam satu tubuh, satu roh, dan satu jiwa, termasuk di dalamnya pemuda. Lebih jauh dari situ, persekutuan dan pelayanan pemuda mesti dilihat dalam konteks yang lebih luas meliputi persekutuan oikumenis. Sehingga pemuda gereja dalam semangat oikumenis yang saling menghormati tradisi denominasi masing-masing, dapat mengembangkan pelayanan yang berpihak pada pemberdayaan kaum lemah dan marjinal, terutama di daerah pedesaan dengan masyarakat agraris yang belum sungguh-sungguh mendapat perlindungan pemerintah. Sehubungan dengan itu, ada dua hal yang mesti disadari dan direspon secara teologis alkitabiah, yaitu pada satu sisi globalisasi memberikan signal yang kuat terhadap pemahaman oikumenis yang lebih luas dan terbuka, di mana masyarakat Kristen di berbagai belahan dunia cenderung melepaskan diri dari berbagai ikatan tradisi denominasional. Sehingga, suatu ketika kita tidak akan terkejut melihat pelayanan lintas denominasi semakin eksis, dan itu dapat menimbulkan gangguan psikologis bagi gereja-gereja aliran utama yang dominan selama dua abad terakhir. Memang, gerakan oikumenis seperti itu lebih terpusat pada masyarakat metropolis, di mana akses terhadap media dan komunikasi relatif lebih intens. Namun, jelas bahwa arus terhadap gereja non-denominasi seperti itu dapat menguat di tengah-tengah peradaban global abad 21. Pada sisi lain, globalisasi yang merambah sampai kepada pelosok-pelosok melalui jaringan komuniasi dan media, bahkan juga dengan kapitalis yang berkiprah dalam agrobisnis organik, memberikan signal yang kuat terhadap benturan tradisi yang dapat mengendurkan nilai-nilai lokal. Oleh karena itu, pemuda gereja perlu memberikan penyadaran terhadap pentingnya nilai-nilai tradisional sebagai simbol identitas bangsa yang dapat digali untuk menjawab tantangan zaman. Masyarakat petani di pelosok-pelosok perlu mendapat pendampingan untuk mengembangkan pertanian organik, yang memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian dengan pupuk kimia. Masyarakat global yang sadar akan bahaya makanan produk kimiawi akan mencari produk organik, sebab masalah harga secara otomatis tidak akan menjadi persoalan, harga komiditas sudah dipercayakan sepenuhnya kepada pasar bebas. Kedengarannya, isu terakhir ini kurang populer bagi kaum muda yang cenderung melirik pusat-pusat kota metropolitan sebagai tempat yang menjanjikan masa depan yang sejahtera. Namun, justru itulah tantangan pemuda gereja, dan masalah spiritualitas pemuda gereja tidak lepas dari komitmennya terhadap pemberdayaan petani dan nelayan, yang sampai hari ini belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Kebijakan ekonomi kita belum sungguh-sungguh berpihak kepada petani dan nelayan, sebagaimana dapat dilihat dari derasnya impor produk pertanian yang menjatuhkan harga jual produk para petani lokal. Sudah waktunya spiritualitas pemuda gereja diuji kualitasnya dengan seberapa besar berkat yang dapat diberikannya untuk membawa petani dan nelayan Indonesia menikmati kehidupan yang damai dan sejahtera. Pemuda gereja dapat mengikuti jejak saudara kita dari Gereja-gereja Reform yang telah merumuskan sebuah janji iman yang disebut dengan: Covenanting for justice, yang salah satu statemennya mengatakan, bahwa “kita percaya bahwa Allah memanggil kita untuk berdiri disamping para korban ketidakadilan. Kita tahu bahwa kita diminta oleh Allah untuk melakukan keadilan, cinta kasih, dan jalan yang benar di hadapan Allah (Mikha 6:8). Kita dipanggil oleh Allah untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dalam ekonomi dan pengrusakan lingkungan, sehingga keadilan dapat mengalir seperti air dan kebenaran seperti sungai (Amos 5:24). Oleh karena itu, kita menolak semua teologi yang mengatakan bahwa Allah hanya berpihak pada yang kaya, dan kemiskinan adalah akibat kesalahan dan kemalasan orang miskin. Kita menolak segala bentuk ketidakadilan yang menghancurkan hubungan yang baik antar jender, ras, strata sosial dan kecacatan. Kita menolak semua teologi yang menekankan bahwa kepentingan manusia diatas kepentingan alam (Seong-Won Park, 2005:189).

Bahan bacaan:
1. Beyer, Ulrich Berani Tampil Beda, BJU, Medan, 2005.
2. Bluck, John., Evervyday Ecumenism - Can You Take The World Church Home?, WCC Publication, Geneva, 1987.
3. Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations And The Remaking of World Order, Simon & Schuster Australia, Sydney, 2002.
4. Marber, Peter., Money Changes Everything, How Global Prosperity Is Rehsaping Our Needs, Values, and Lifestyles, Financial Times (FT) Prentice Hall, New Jersey, 2003.
5. Park, Seong-Won. (Guest Co-editor), “Covenanting for Justice: the Accra Confession”, dalam Reformed World, Volume 55, September 2005.
6. Rauchfuss, Sonja., “Youth and neoliberal globalization: a German perspective,” dalam Reformed World, Volume 56, March 2006.
7. Stott, Jhon., Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen, Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, YKBK/OMF, Jakarta, 1994.
8. Tangdilintin, Philips, Pembinaan Generasi Muda, dengan proses manajerial VOSRAM, Kanisius, Yogyakarta, 2008.


[1] Pdt. Willem TP Simarmata, MA, Sekretaris Jenderal HKBP, dalam HKBP Youth Camp, 1 Juli 2008.
[2] Generasi muda fundamentalis akan cenderung membalaskan kegagalan masa lalu dengan berbagai tindak kekerasan, seperti terorisme yang merugikan dalam segala hal, termasuk merugikan bagi agama pelakunya. Analisis Huntington tidak dapat dibantah, sebab fakta menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dengan jaringan terorisme internasional yang sangat rapi dan canggih, termasuk yang beroperasi di Indonesia, ternyata adalah generasi muda dengan intelektualitas dan mobilitas tinggi, tetapi tidak memiliki arah dan tingkat pertumbuhan spiritual yang baik dan konstruktif. Pertumbuhan Islam secara demografis dan kebangkitan Islam sebagai salah satu akibat dari kemunduran budaya barat (warisan kekristenan), menurut Huntington merupakan faktor utama yang menimbulkan berbagai konflik dengan umat beragama lain.
[3] Pemuda HKBP perlu mengantisipasi pengaruh luas dari neoliberalisme dalam berbagai sektor, yang semestinya menjadi pusat pembentukan moral dan spiritual masyarakat, tetapi kemudian diubah menjadi komoditi yang berorientasi keuntungan ekonomik. Pengaruh neoliberalisme terhadap kaum muda, terutama melalui perubahan ekonomi, ketidakseimbangan demografis, dan pluralisme budaya. Perubahan ekonomi, misalnya dapat diamati melalui penggunaan telepon seluler, internet dan video game. Saat ini para remaja dan pemuda, mulai dari yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hingga Mahasiswa, merupakan kelompok pengguna telepon selular, video game, dan internet yang paling tinggi. Ini merupakan fenomena global, yang dijumpai hampir di semua negara, terutama di negara-negara kaya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap kaum muda di Jerman, terbukti bahwa persentase kelompok usia 15-25 tahun merupakan kelompok umur yang secara reguler menggunakan komputer, internet dan video game, dan ternyata sejak tahun 1997 meningkat dua kali lipat dari 21 % menjadi 43 %. Malahan disebutkan, bahwa 80 % pemuda di Jerman secara reguler menggunakan mobile telephone. Penggunaan alat komunikasi canggih dan akses informasi yang komprehensif seperti internet yang demikian tinggi, justru mempertegas individualisme dan kepelbagaian pilihan dan sikap kaum muda di Jerman.

0 komentar: