Selasa, 18 Desember 2007

Natal Bersama Keluarga Besar Kantor Pusat dan Lembaga HKBP


Pada hari selasa, 18 Desember 2007 Sekjen HKBP, Pdt. Willem TP. Simarmata, MA menghadiri perayaan natal bersama Keluarga Besar Kantor Pusat dan Lembaga HKBP di Auditorium, Seminarium Sipoholon.

Pesta Natal tersebut mengambil tema dari Titus 2: 12. Sekitar tujuh ratusan orang dari berbagai Lembaga HKBP hadir pada acara tersebut. Pada Acara Natal,renungan Natal dibawakan oleh Pdt. BM Sipahutar.

Minggu, 11 November 2007

Pelantikan Perayaan Natal Umat Kristen Sumut 2007


Pada hari Jumat (9/11) Sekjen HKBP sekaligus Ketua Umum Forum Komunikasi dan Konsultasi Gereja Sumatera Utara, Pdt. Willem TP. Simarmata melantik Panitia Natal Umat Kristen Sumatera Utara 2007. Perayaan natal yang nantinya akan diselenggarakan pada tanggal 28 Desember di Stadion Telada Medan ini melibatkan seluruh denominasi gereja, perkumpulan marga-marga, paguyuban massa Kristen di seluruh Sumatera Utara. Pada tahun ini perayaan Natal mengambil tema: "Hiduplah dengan Bijaksana, Adil dan Beribadat" (Titus 2:12). Adapun pada acara pelantikan tersebut Ir. GM Chandra Panggabean terpilih dan dilantik sebagai Ketua Umum Acara Natal.

Pdt. Willem TP. Simarmata, MA disela-sela acara pelantikan tersebut mengharapkan agar perayaan natal ini nantinya tidak sekedar seremonial belaka tetapi hendaknya berdampak pada sosial dan keagamaan bagi masyarakat Sumut.

"Karena itu panitia mengadakan bakti sosial supaya perayaan Natal ini juga bermakna bagi masyarakat sekitar."

Susunan Panitia Perayaan Natal adalah sebagai berikut:

Ketua Umum
Ir GM Chandra Panggabean

Ketua
JA Ferdinandus, Pdt Midian KH Sirait MTh, Pdt Robert Benedictus MSi MAP, Budiman Nadapdap, Jumongkas Hutagaol, Ir Binsar Situmorang, Ir Saud Mangantar Tambunan, Ir JB Siringoringo, Drs Gandhi Tambunan MSi, Ir Albert Pangaribuan, Drs NP Manurung, Samsul Sianturi SH, Sahala Parulian Lumban Tobing, Aliozishoki Fau SPd, Drs Baskami Ginting, R Timur Panjaitan SH.

Sekretaris Umum
Pdt Dr Elim Simamora, dan Sekretaris Ir Hasudungan Butarbutar MSi, Jerry Edhi Manulang SE, Paul M. Simanjuntak SP, Ir Banyamin Pinem, Drs Dohardo Harianja, Guntung Manurung SE, Sudirman Halawa. Bendahara Umum Drs Monang Simorangkir, Bendahara Capt AJD Korompis MM, Ibrahim Siddik, James Maja Hutapea, Tiandi Lukman SE, Ir Janerson Purba, Sisca Munthe, dan Drs Hakim Sitorus MBA.

Panitia dilengkapi bidang-bidang
Koordinator Sekretariat
Joan Berlin Damanik SSI MM, Koordinator Ibadah/acara Pdt Sarlen Lumban Toging MA, Koordinator tempat/peralatan St Drs Marolop Hutagaol MPd, Koordinator Undangan Drs RA Samosir, Koordinator Konsumsi Shinta Tamba SH, Koordinator Keamanan Kombes Aspan Nainggolan SH, Koordinator publikasi/dokumentasi Setia Pandia, Koordinator Dekorasi Dartatik Damanik, Koordinator Aksi Sosial Ir Simson Tampubolon MM, Koordinator Dana dan Daya Timbangan Ginting BBA, Koordinator Kebersihan Ferlin Nainggolan SH, Koordinator Kesehatan Dr Erwin Pardede, Koordinator Protokol/penerima tamu Drs Bukit Tambunan, Koordinator Sarana dan Prasarana Fisik Ir Jonner Hutagaol MM, Koordinator Hukum dan Advokasi DR Januari Siregar MAP MSP, Koordinator Pengerahan Massa Sanggam SH Bakara, Koordinator Lalulintas Dearmando Purba SH.

Unsur pelindung Gubsu, Ketua DPRDSU, Kapoldasu, Pangdam I BB, Kajatisu, Ketua PT Sumut, para pimpinan gereja di Sumut dan Keuskupan Agung Sumut.

Penasehat
Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan Letjen TNI (purn) DR TB Silalahi SH, DR GM Panggabean, Panda Nababan, Drh Jhonny Allen Marbun, DR Sutan Raja DL Sitorus, dan lainnya.

(disadur dari Sinar Indonesia Baru, senin 12/11/2007)

Selasa, 06 November 2007

Pesta Pembangunan Gedung Sekolah Minggu HKBP Harapan Jaya

Pesta Pembangunan Gedung Sekolah Minggu HKBP Harapan Jaya, Pekanbaru

Pada tanggal 4 November 2007 telah diadakan Pesta Pembangunan sekaligus Peletakan Batu Pertama Gedung Sekolah Minggu HKBP Harapan Jaya, Pekan Baru. Acara tersebut dipimpin oleh Sekjen HKBP Pdt. WTP Simarmata, MA, Pdt S. Nababan dan Pdt. Sabam Sirait. Hadir pula pada acara ini para tokoh Kristen dan Batak di Riau.

Acara yang sukses dilaksanakan ini mengumpulkan dana sebesar Rp. 310.000.000,- dan secepatnya akan direalisasikan.

Pengumpulan Dana Pembangunan HKBP Simarmata

Pengumpulan Dana Pembangunan Gereja HKBP Simarmata

Pada tanggal 2 November 2007, Sekjen HKBP Pdt. WTP Simarmata, MA menghadiri pesta acara pengumpulan dana untuk pembangunan Gereja HKBP Simarmata di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara yang berlangsung meriah dan lancar ini mengumpulkan dana lebih dari Rp. 40.000.000,-

Adapun pada acara tersebut hadir pula Wakasad Jend. Cornel Simbolon dan Drs. Budiman Simarmata, M.Si selaku pimpinan dari panitia acara pesta pengumpulan dana ini yang saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Jakarta Selatan.

Semoga Acara ini dapat menjadi cermin bagi kita semua untuk terus membangun gereja sebagai tubuh Kristus di kemudian hari.

Jumat, 26 Oktober 2007

Kemah Pemuda 2007 di Sibolangit

Kemah Pemuda 2007

Pada tanggal 25 Oktober 2007, Pdt. Willem TP. Simarmata, MA selaku Ketua PGI wilayah Sumut membuka Kemah Pemuda 2007 di Taman Jubileum GBKP Sukamakmur Sibolangit. Acara tersebut ditandai dengan pemukulan gong yang disambut tepuk tangan oleh peserta sedikitnya 1000 orang pemuda.

Selain membuka acara kemah pemuda tersebut, Pdt. Willem TP. Simarmata, MA juga membakar semangat para pemuda dengan kata sambutannya yang disambut oleh sorak sorai oleh para pemuda.

"Jadikanlah kesempatan ini untuk membangun sebuah komitmen dan janji iman untuk membangun diri, spiritualitas dan jati diri memperkokoh kebersamaan pemuda dalam menyongsong masa depan, termasuk dalam pilihan-pilihan kebijakan dalam berbangsa, bermasyarakat dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik."

Tak henti-hentinya terus membakar semangat para pemuda , Pdt. Willem TP. Simarmata, MA juga menekankan pemuda sebagai dinamika, pembaharuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Ia pun menyarankan pemuda harus membangun kualitas diri dan menjadi terang bagi kehidupan.

"Karenanya bangunlah kualitas diri, bangkitlah menjadi terang menerangi sendi-sendi kehidupan yang gelap."

Acara Kemah Pemuda tersebut juga dihadiri oleh Sekum PGI Sumut Pdt. DR Langsung Sitorus, M.Th, Kepala Badan Kesbang Linmas Pempropsu Oloan Sihombing, SH yang menggantikan Gubsu Rudolf Pardede, Ketua Departemen Pemuda dan Remaja PGI Pusat Yanidi Zagao SE, MSi, MPH PGI Pusat Benyamin Pinem, Ketua Komisi Pemuda wilayah Sumut Harris Silalahi, S.Si dan Ketua Panitia Jerry Edhi Manullang, SE.

Acara ini dijadwalkan berlangsung mulai dari tanggal 25 sampai 28 Oktober 2007. Selain acara pembukaan dan ibadah pada hari pertama, acara ini juga diisi dengan kegiatan seminar. Hadir pula Pdt. DR. SAE Nababan, Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi dan Yenny Abdurahman Wahid sebagai pembawa sesi.

(disadur dari Harian Suara Indonesia Baru, Jum'at 26/10/2007
Foto dari Harian Suara Indonesia Baru, Minggu 28/10/2007)

Minggu, 21 Oktober 2007

GEREJA DAN MASYARAKAT GLOBAL

GEREJA DAN MASYARAKAT GLOBAL

Oleh: Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt WTP.Simarmata, MA

Disampaikan pada kuliah umum SGH HKBP- Seminarium Sipoholon, 9 September 2005

Sebagai gereja kita berbicara tentang HKBP yang tidak terlepas dari adat batak. Oleh karena itu, kita melihat posisinya sebagai gereja dan sebagai HKBP.

Hal yang sangat strategis :

1. Bahwa gereja HKBP adalah unik karena kuat dengan adat bahkan interaksi antara 1 dengan yang lain (mis: di bilik parhobasan terjadi “partuturon”).

HKBP DAN BUDAYA BATAK

Sessi ini dimulai dengan ilustrasi seekor gajah kecil yang sedang dilatih oleh pawangnya. Gajah itu diikat dengan rantai di bagian depan, terikat terus dan berusaha melepaskan ikatan itu namun apa daya tenaganya tidak mampu. Ketika gajah itu bertumbuh menjadi gajah yang besar, ia terus teringat ketika ia masih kecil dimana ia tidak mampu melepaskan ikatan rantai dari kakinya sehingga keterikatan terhadap tradisi lama itu membuat ia tidak berusaha untuk melepaskan ikatan rantai tersebut. Cerita diatas mengajak kita agar jangan menyerah pada sebuah keadaan. Oleh karenanya sessi ini bukan berbentuk kuliah tetapi merupakan refleksi bagi calon pendeta yang telah menjalani masa vikarisnya selama setahunatau lebih yang juga telah banyak menerima sanjung-puji bahkan tantangan baik yang datang dari senior maupun dari lokasi tempat pelayanan tersebut.

Bagaimanakah dampak dari adat bagi kehidupan orang batak?

Pertanyaan ini dikemukakan karena interaksi adat orang batak diwarnai oleh kekerabatan yang sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan hidup orang batak itu sendiri. Oleh karenanya faktor kultur dapat dipakai sebagai kendaraan bagi Injil seperti pendapat Richard Neihbur mengatakan bahwa God has transformed the culture. Hal senada juga tampak dalam istilah “Sepio Kido” yang artinya doa pagi di gunung yang kemudian mereka anggap sebagai dampak positif bagi kekristenan dan dipakai sebagai doa pagi di gereja untuk memberangkatkan mereka ke tempat mereka bekerja.

SISI POSITIF ADAT BATAK

1. Menumbuhkan ikatan kekeluargaan yang kuat/kokoh

Didalam ikatan ini telah terkandung filosofi Dalihan Natolu (DNT) dalam budaya batak yang mengatakan : Hormat marhulahula, manat mardongantubu, elek marboru (elek: Naso jadi muruhon halak na di posisi terendah).

2. Ada kebersamaan/ kerjasama

Bnd. Terjadinya revolusi fisik- jangan pernah menyalahkan orang, molo diulahon hamu do i di huria, pasti do hita merasa aman. Untuk itu, please think positive (ciptakan kondisi yang bersahabat).

3. Menumbuhkan rasa hormat kepada orang tua/lebih senior

4. Ada tujuan hidup

5. Ada motivasi pasingkolahon ianakhon (untuk lebih maju)

6. Menumbuhkan sikap kerja keras yakni konsep partisipatif

7. Menumbuhkan kemandirian

SISI NEGATIF ADAT BATAK

1. Adanya penyalahgunaan hubungan kekerabatan(marbulu suhar)

Hubungan kekerabatan lebih tinggi dari kebenaran.Walaupun salah tetapi karena kerabat di marga (dongan tubu) akan dibela.

Marbulu suhar sama seperti orang yang menarik bambu dari rantingnya sehingga menimbulkan kesulitan baru dan tidak menyelesaikan masalah. Tapi menarik bambu harus dari bawah (akarnya) sehingga lebih mudah.

2. Pemborosan

Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi orang batak yang relatif miskin maka mental merekapun cenderung terbentuk menjadi mental inferior sehingga membangun gengsi terhadap diri sendiri maupun orang lain.

3. Emosional

Sikap ini menjadikan orang mudah tersinggung terutama ditemukan pada orang yang telah tua (alana ingkon sisubuton do roha nasida)

Mis: Bila ada suatu suku marga membangun tugu, maka marga yang lain tidak mau dikatakan ketinggalan, sehingga mereka secara emosional segera menghubungi pihak dari marganya untuk membangun tugu juga.

Pembangunan tugu yang semula untuk mempersatukan marga, malah merenggangkan. Hal ini misalnya tampak dalam persoalan tentang siapa yang memimpin di depan/ maguluhon tortor di jolo. Orang yang tidak mampu dalam suatu ikatan marga membuat dia menjadi tersisih dari kaum kerabatnya.

4. Bersifat tradisional yang kaku sehingga tidak terbuka terhadap perubahan.

5. Hubungan marga sering mengakibatkan pengkotak-kotakan

Mis: Pemilihan Calon Bupati di suatu daerah yang terkait dengan suku/ marga tertentu secara sadar atau tidak menimbulkan fanatisme marga atau pengkotakkotakan terhadap satu atau dua marga. Contohnya marga Tampubolon dengan Sitorus di Toba dan Tumanggor-Solin di Sidikalang.

6. Bentuk kerjasama di antara orang Batak sering bersifat “MARSIRUPPA” dan “MARSIADAPARI” yang berdasarkan hukum pembalasan.

Istilah Marsiruppa, Marsiadapari :” Ro ahu tu pestamu, ro ho tu pestaku, alai ndang sisongoni na ginoaran di hakristenon… untuk prinsip seperti ini digantikan dengan HUKUM KASIH dalam kekristenan (marlapatan:” ro manang so ro halak tu pesta niba, taulahon ma mangulahon na denggan tu saluhut halak). Karenanya ada yang harus dibongkar dari habatahon tersebut. Hakristenon yang membungkus habatahon masih seperti kulit ari yang sangat tipis sehingga mudah terluka. Ketika kekristenan tersebut mengalami benturan maka yang segera muncul adalah habatahonnya.

Tugas HKBP dalam hubungannya dengan habatahon adalah memelihara dan mengembangkan sisi positif dari habatahon dan menginjili sisi-sisi negatif dari habatahon tersebut. Agar pendeta HKBP menjadi penginjil yang baik terhadap habatahon, maka pendeta HKBP harus menjadi pemberi solusi.

Menyangkut psikologis, manusia sering menghadapi 2 hal yakni” alam sadar dan alam tidak sadar. Alam sadar bersifat terkontrol yang di dalamnya orang menjadi sopan dan santun, respek dll sedangkan alam tidak sadar bersifat tidak terkontrol yang dialami ketika orang bermimpi, marah, terkejut, gerakan refleks dll. Melihat kedua hal tersebut, maka tugas kita sebagai pelayan gerejawi adalah menginjili ketidaksadaran tersebut menjadi kesadaran. Senada dengan itu, pemerintah mencanangkan sadar hukum dll.

Jangan seorangpun menganggap engkau rendah, karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya dalam perkataanmu, dalam tingkahlakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu (I Tim 4:12).

Dengan demikian sisi negatif dan positif dari adat batak ini harus dengan cermat/ waspada difahami oleh pelayan HKBP. Dengan catatan, Jangan mau menjadi bahagian dari persoalan, tetapi tinggalkan persoalan dan jadilah bahagian dari solusi. Kalau ingin melakukan perubahan, ide-ide perubahan tersebut tidak harus kita yang menyampaikan tetapi bisa melalui orang lain. (Halak pe ta ho na pasahathon pikiranta, asa unang gabe persoalan hita asal ma tu dengganna).

Bagi pengajar sidi: Unang sungku na so hea diajarhon ho tu parguru malua i ( Hindari hal tersebut karena ia merupakan bentuk penindasan).

HKBP dan Protestantisme

Protestanisme membawa :

1. Keterbukaan

2. Individualisme

3. Demokrasi

Ada segi-segi protestanisme yang harus diwaspadai (jika tidak dicermati, maka hal itu akan membawa konflik yang mungkin dibonceng oleh protestanisme tersebut.

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

1. Banyak film yang membuat karakter orang menjadi 2 (double danger) yakni: sifat yang baik dan sifat iblis. Berkaitan dengan itu, seorang peneliti mengatakan bahwa semua sifat lengkap dimiliki oleh orang Batak.

2. Antusiasme jemaat jauh lebih tinggi kepada adat daripada agama. Molo didok halak ndang maradat orang tidak akan marah tetapijika dikatakan orang tidak beragama sepertinya tidak ada persoalan. Kaum Bapak lebih antusias pergi martonggo raja daripada mengikuti partangiangan. Sebenarnya dimanakah letak persoalan tersebut?

3. Ada anggapan yang menganggap bahwa orang luar lebih superior daripada “habatahon” yang sudah dimiliki orang Batak. Apakah upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan seperti itu?

4. Pertanyaan di sekitar pelayanan yang melayani di daerah perantauan yang masih tradisional dan transmigran dari beberapa suku batak ( Toba, Mandailing, Karo…). Ternyata di daerah yang bukan daerah orang batak, banyak terdapat orang batak yang merantau. Untuk itu yang menjadi pergumulan, bagaimana posisi “uluan ni huria” menghadapi posisi “hulahula” yang ada di jemaat? Di daerah perantauan sering terjadi pembauran antara orang Batak yang Kristen dengan orang Batak yang telah masuk agama lain. Ada pesta pernikahan antara orang Batak dengan muslim tetapi parhalado tetap “ mangadop” mereka dari segi “habatahon”. Bagaimana tanggapan gereja terhadap hal ini ?

5. Adat Dalihan Natolu sangat tinggi di suatu tempat pelayanan yang ada suku Karo, Pakpak dan Simalungun. Ditemukan sikap dari “parhalado setempat” untuk dihargai dan diberi kesempatan berbicara di depan umum bahkan ironisnya menganggap dirinya lebih tinggi, paling benar dan mengetahui segala hal sampai tahap pengambil keputusan padahal di sana telah ada “Uluan ni Huria”. Parhalado berasal dari 1 suku marga sehingga situasi ini menjadi sulit untuk menetralisir keadaan. Bagaimana menghadapi situasi tersebut?

6. Bagaimana Injil menerangi adat ? Sepertinya kaum rohaniawan hanya terlihat berfungsi dalam upacara pernikahan saja sedangkan di upacara adat, raja adat atau tetua adat yang sudah mengambil kendali. Dari situasi itu terlihat bahwa terjadi penyingkiran dari adat terhadap agama sebab masih ada masalah penempatan rohaniawan diporsi adat. Agama tradisional Batak terkadang lebih kuat daripada kekristenan. Hal ini misalnya tampak dalam isu “begu ganjang” yang mengakibatkan mereka lebih mempercayai tetua adat daripada “parhalado” untuk mengatasi persoalan pemahaman tersebut.

7. Dalam adat Batak ditemukan 3 jenis jambar yakni: jambar hata, jambar ulaon dan jambar juhut. Namun seringkali kita tidak memfungsikan jambar tersebut dalam pelayanan gerejawi sehingga cenderung terlihat penatua atau pendeta setempat menguasai/ mengendalikan seluruh rangkaian acara gerejawi tersebut tanpa melibatkan mereka yang berpengalaman di lingkungan adat. Apa salahnya jika penatua mengikutsertakan mereka dalam berbagai acara gerejawi sehingga mereka dapar berperan aktif dan termotivasi untuk memberikan hidupnya untuk pengembangan pelayanan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini.

JAWABAN

  1. Orang Batak memiliki potensi. Potensi untuk merusak dan membangun. Potensi ini sering mengarah ke konflik yang berkepanjangan dan akhirnya ke perpecahan. Hal ini misalnya tampak dalam perjalanan sejarah konflik di gereja HKBP. Namun dari perjalanan sejarah tersebut juga tampak bahwa HKBP sudah semakin dewasa mengatasi konfliknya sehingga konflik tidak lagi mengarah kepada perpecahan. Di dalam gereja perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar tetapi perbedaan pendapat tersebut janganlah berakhir pada perpecahan.

2. Soal “begu ganjang” terjadi dilatarbelakangi oleh kecemburuan terhadap kalangan tertentu yang kehidupan ekonominya jauh lebih baik sehingga ada pihak tertentu yang memprovokasi untuk merusak rumah orang yang dicemburui dan diiisukan memelihara “begu ganjang” dan diusir dari kampung tersebut. Lebih fatal lagi ada orang yang sengaja mengisukan hal-hal yang bisa merusak kebersamaan atau dengan sengaja merusak pola pikir yang mau dipecah (biasanya tempat yang mudah untuk mengalakkan issue ini adalah daerah yang mempunyai latar belakang ekonomi yang sangat terbelakang sehingga mudah terjerat issue), mis: Dolok Sanggul, Sidikalang dll. Hal itu juga merupakan bagian dari tugas kita dimana gereja jaman sekarang ini tidak hanya menyangkut spiritual saja tetapi merupakan medan pelayanan yang menyangkut sosial. Kita bisa bandingkan bagaimana upaya Nomensen yang tidak hanya mendirikan gereja tetapi juga sekolah, Rumah Sakit, pemberdayaan ekonomi melalui membebaskan orang yang terpasung dan melunaskan hutangnya.

Swars mengatakan sudah saatnya gereja memakai roda untuk menjamah pelayanan masyarakat. Persoalan kita adalah dimana kita bersifat menunggu, seperti tradisi setelah lonceng gereja dibunyikan, kemudian anak Sekolah Minggu datang dan diikuti oleh kaum remaja, Ina dan Bapak ke gereja untuk mengikuti kebaktian.Untuk itu seperti pendapat Swars tadi kita diupayakan harus pergi sehingga kita dapat mewujudkan gereja yang demisioner (supaya gereja itu sendiri dapat menyentuh persoalan ekonomi dll). Hal ini disebabkan karena orang batak berpotensi untuk membangun dan di sisi lain dapat merusak.

Keadaan yang memaksa kita untuk berbuat seperti itu.

Seperti pepatah Belanda mengatakan: “Jangan takut menabur benih karena takut burung akan memakan benih itu”. Untuk itu tugas kita adalah lindungi benih itu agar burung tidak dapat menggapai dan memakan benih itu!

Setiap manusia harus mempunyai prinsip dalam hidupnya yang akan digambarkan oleh salah satu ilustrasi berikut:

Ada sebuah kapal perang yang berjalan di tengah samudra luas bersama seorang laksamana dan para awak kapalnya. Dari kejauhan, ia melihat ada cahaya lampu namun tidak mengetahui cahaya lampu apa itu gerangan? Si pengemudi berkata ke arah cahaya lampu itu:” Kapal perang hendak lewat, jadi minggirlah! Kemudian suara dari arah cahaya itu menjawab:” Kalian yang harus minggir! Kemudian si awak kapal memberitahu kepada laksamana tentang kejadian itu dan menyampaikan pesan sang Laksamana dan berkata:” Ini pesan Laksamana, kapal perang hendak lewat minggirlah! Suara menjawab dengan tegas:” Anda yang harus berubah haluan, sebab ini adalah mercusuar! Dengan ilustrasi ini kita diajak untuk belajar bahwa tidak ada seorangpun yang mampu melawan kata hatinya , untuk itu jadilah mercusuar agar orang tidak dengan mudah dapat mengubah anda!

Supaya menjadi mercusuar memerlukan prinsip atas dasar Firman Tuhan sehingga tidak takut melakukan apa yang baik.

Kalau mau menerima sesuatu harus bijak, sabar menunggu masa depan yang panjang. Jangan memaksakan kehendak tetapi hanya sesaat saja. Karena tidak semua usaha itu berhasil namun tidak ada keberhasilan tanpa usaha.

Ilustrasi: Angsa bertelur pada waktunya dalam jumlah yang tertentu pula. Orang yang bijak akan menunggu sampai angsa selesai bertelur kemudian mengambil telurnya tetapi orang yang tidak bijak akan menangkap angsa tersebut, membedah perutnya untuk mengambil telurnya, tentu saja sang angsa tidak akan bisa bertelur lagi karena ia sudah mati. (Untuk itu, bangun diri dengan sebuah komitmen)

Itulah paradigma/prinsip kehidupan seperti yang tertulis dalam Efesus 4:14-15 : ” Sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombangambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan. Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh, di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah kepala”

Banyak dampak negatif dan positif untuk memperbaiki keadaan walaupun orang yang memperbaiki keadaan itu tidak pernah serta merta menikmati indahnya perubahan itu.

3. Tentang masih adanya ajaran-ajaran yang bertentangan dengan kekristenan dalam tradisi Batak adalah dikarenakan kekristenan masuk ke tanah Batak karena penginjilan massal dan kurang menekankan pertobatan pribadi. Dalam hubungan habatahon dengan kekristenan. Kekristenan hanyalah setipis kulit ari. Ketika kekristenan tersebut terkupas maka yang muncul ke permukaan adalah habatahon tadi. Karenanya untuk memperbaharui hidup kekeristenan orang Batak, pembaharuan tersebut harus sudah dilaksanakan sejak sekolah Minggu. Hal yang dapat dilakukan adalah perubahan kurikulum pengajaran Sekolah Minggu, katekisasi sidi maupun PAK untuk orang dewasa. Kurikulum yang mengajarkan pengajaran agama yang menyentuh persoalan sehari-hari seperti masalah kekerasan, keadilan gender dlsb.

Karena kekristenan dikenal bukan karena doktrin tetapi bagaimana orang Kristen hidup dalam persekutuan dengan orang lain.

4. Mengapa adat Batak sulit untuk dirubah adalah karena dalam diri orang Batak ada pemahaman bahwa adat itu bersumber dari Tuhan. Hal ini misalnya tampak dalam peribahasa berikut; “Adat do ugari sinehathon ni Mulajadi”. Karena berasal dari Tuhan orang Batak sulit merubah adatnya. Walaupun sudah berpindah tempat adat tersebut masih tetap dibawa/dipelihara didaerah barunya (perantauan).

5. Orang Batak senang untuk dihormati. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena semua orang ingin dihormati.

Molo adong na binoto ni halak, hape ndang taloas mangulahon, ndang tafungsihon nasida, olo do nasida gae tersinggung dan merasa sakit hati.

Tugas kita: pakailah unsur-unsur dari budaya itu untuk lebih mensukseskan pelayanan selama itu tidak mengganggu pelayanan kita. Ido umbahen didok:” ulahon ma na denggan, alai parsiajari ma na so tama asa boi bedahononmu dia do na tama jala dia do na so tama.

Karenanya pendeta harus terbuka untuk melibatkan setiap jemaat yang ingin melibatkan diri dalam pelayanan. Intinya, pendeta harus bijaksana memakai unsur-unsur dalam budaya Batak dengan mengembangkan tradisi yang baik dalam budaya Batak sejauh ia tidak bertentangan dengan kekristenan, tidak merusak persekutuan jemaat.

Ada satu hal yang perlu diingat pendeta yaitu ungkapan yang mengatakan “ Sidapot solu do na ro” Artinya pendatang harus menghormati tatanan yang ada. Karenanya kalau ingin melakukan pembaharuan terhadap tradisi Batak maka ia harus dilakukan dengan bijaksana dan perlahan-lahan

6. Tentang begu ganjang dan kesurupan merupakan sesuatu yang dapat diatur. Orang bisa mengatur atau membuat strategi seakan-akan ia kesurupan. Ada orang yang memiliki keahlian untuk mengobati penyakit. Supaya lebih terkenal terkadang ia menggabungkan kepintarannya dengan memakai jimat.

7. Bagaimana melibatkan setiap orang dalam pelayanan. Setiap jemaat perlu dilibatkan dalam pelayanan gereja untuk menopang pembangunan Kerajaan Allah. Karenanya untuk dapat maksimal melibatkan jemaat, pendeta harus memperhatikan empat hal berikut dalam pelayanannya supaya pelayanannya kreatif. Keempat hal tersebut adalah :

a. Visi : pelayan harus memiliki visi yang jelas. Visi atau cita-cita dimasa depan yang perlu diraih. Karena apa yang kita inginkan tercipta dimasa depan maka ia harus dilakukan mulai dari sekarang. Kalau kita menginginkan supaya sesuatu tidak terjadi dimasa depan maka kita harus menghindarinya dari sekarang

b. Struktur : pelayan harus memperhatikan dan menyusun struktur yang dapat mendukung pelayanan dengan baik. Struktur yang hendak dibentuk haruslah struktur yang mendukung untuk pengembangan pelayanan.

c. Manusia : pelayan perlu memperhatikan talenta setia jemaat dan melibatkan jemaat sesuai dengan talenta masing-masing. Pelayan yang demikian adalah pelayan yang selalu mau belajar dan senantiasa mencari pengetahun yang integratif.

d. Teknologi : pelayan harus mahir memakai teknologi yang bermanfaat bagi pelayanan.

Saat ini lembaga-lembaga gereja dunia sedang mengembangkan suatu bentuk pelayanan baru yang disebut dengan pelayanan “ New Era Mission (istilah VEM) atau The Outreach Ministry (LWF)”. Pelayanan tersbeut adalah suatu bentuk pelayanan kepada orang-orang yang berada di luar struktur seperti anak jalanan, narapidana dan PSK (Penjual Seks Komersial). Bentuk pelayanan ini merupakan jawaban terhadap bentuk pelayanan yang kontekstual, kreatif dan integratif.

Sessi 2 pkl. 10.30-12.30 wib

HKBP, PERUBAHAN SOSIAL DAN GLOBALISASI

Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi ia mampu membangkitkan orang yang mampu bersaing namun di sisi lain ia akan menggilas orang yang lemah. Siapa yang mampu bersaing akan sukses, hebat tetapi bila tidak mampu bersaing ia akan tergilas. Satu contoh misalnya, bila ulos mampu bersaing maka ulos akan cepat terkenal, berkembang dan tersebar ke banyak negara. Namun bila tidak mampu bersaing maka ulos akan ditinggalkan orang (punah). Hal ini juga akan terjadi ke makanan maupun kerajinan tradisional lainnya seperti saksang, Babi Panggang Karo dlsb. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Nietche yang menggambarkan persaingan dalam era globalisasi seperti orang yang mendaki gunung beramai-ramai. Dalam pendakian tersebut ada orang yang telah berhenti walaupun baru mulai mendaki karena sakit, terkilir dlsb, ada orang yang sampai dipertengahan pendakian dan ada orang yang sampai hingga ke puncak gunung.

Intinya Globalisasi menekankan kompetisi. Namun perlu diingat bahwa kompetisi dalam era globalisasi yang demikian akan menjadi tantangan dalam pelayanan gereja karena gereja tidak menekankan kompetisi tetapi kerjasama (cooperation). Karenanya dalam pelayanannya gereja harus mampu bekerjasama dengan pelayanan lain seperti Perguruan Tinggi yang menekankan analisis dan LSM yang memiliki data yang lebih akurat. Gereja sebagai lembaga moral harus bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan LSM di dalam membangun jejaring pelayanan yang integralistik. Pelayanan yang demikian memerlukan pelayan yang memiliki paradigma bahwa pelayan harus banyak belajar di berbagai tempat dan organisasi. Hal ini tentu berbeda dengan paradigma pelayan yang ketika mahasiswa hanya puas dengan belajar di kampus saja dan tidak melakukan apa-apa. Dengan paradigma pelayan yang hanya puas belajar di kampus saja maka dapat dibayangkan setelah menjadi pelayan ia akan menjadi pelayan yang hanya puas melayani dalam struktur dan tidak tertarik untuk menciptakan pelayanan yang tidak disentuh struktur gereja. Padahal dalam globalisasi, gereja diharapkan menjadi gereja yang terbuka, bebas dan kreatif. Gereja harus giat membangun jejaring di dalam pelayanan yang kreatif sehingga globalisasi dapat berjalan sesuai dengan etika bumi. Dengan globalisasi yang semakin pesat, banyak hal-hal yang tidak lagi terkontrol oleh manusia, karenanya gereja perlu terlibat sehingga etika bumi tetap terpelihara. Etika bumi yang menekankan pada keseimbangan oikumene, ekonomi dan ekologi. Ketiga kata oikumene, ekonomi dan ekologi berasal dari akar kata yang sama yaitu bumi atau rumah karenanya berarti bahwa manusia yang tinggal dibumi harus merawat bumi dengan baik.

Dalam era globalisasi yang penuh persaingan juga terjadi banyak penipuan. Hal ini misalnya tampak dalam penipuan dalam pemberian label terhadap produksi-produksi lokal atau dalam negeri seperti hasil produksi yang dikelola dalam negeri Indonesia tetapi diberi label negeri lain (Amerika atau Inggris). Selain itu pengurasan hasil kekayaan dalam negeri dikuras oleh perusahaan kapitalis Amerika untuk kebutuhan orang Amerika sementara hasil kekayaan alam mereka tetap terpelihara. Karenanya supaya mampu bersaing di tengah-tengah globalisasi maka perlu persiapan diri dan sumber daya manusia, salah satunya adalah penguasaan banyak bahasa.



KONTRIBUSI UMAT KRISTEN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA DAN NEGARA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT PLURAL

KONTRIBUSI UMAT KRISTEN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA DAN NEGARA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT PLURAL

Willem TP.Simarmata, MA

Para pemimpin kita selalu berkata bahwa agama-agama di Indonesia secara bersama terpanggil untuk meletakkan landasan etis moral dan spiritual dalam pembangunan bangsa dan negara kita. Ini juga yang selama beberapa periode menghiasi GBHN kita selama Orde Baru. Namun di dalamnya juga terdapat ironi. Kita menyaksikan, misalnya: betapa krisis nilai dan moral, justru meningkat dengan makin maraknya kehidupan beragama. Pembangunan gereja yang makin banyak dan indah, misalnya tumbuh berbarengan dengan laris manisnya Togel dan sejenisnya. Tindak kekerasan dan pembunuhan bahkan terjadi atas nama agama, sehingga tidak jarang muncul pertanyaan :” apakah sumbangan atau kontribusi agama-agama bagi pembangunan masyarakat?”

Beragama memang tidak sama dengan berTuhan. Kenyataan hidup kita selama ini, kita telah menjadi lebih taat kepada agama ketimbang kepada Tuhan. Keadaan seperti ini sudah cukup banyak direkam oleh sejarah. Lihat saja, misalnya: bagaimana pioner-pioner Amerika yang membumihanguskan kehidupan banyak suku bangsa Indian dengan membawa pedang dan salib secara bersamaan. Atau praktek inkwisasi yang terjadi ditengahpuncak kekristenan pada abad pertengahan, dimana dengan gereja membakar atau menghukum mati orang-orang yang berpikiran berbeda dengan ajaran resmi gereja. Jadi, kebangkitan agama bisa juga terjadi beriringan dengan keruntuhan moral.

Akhir-akhir ini, kita sering sekali dikejutkan oleh berbagai peristiwa kekerasan yang bernuansa agama yang di tengah masyarakat. Dari mulai sulitnya mendirikan rumah ibadah, pembakaran atau perusakan rumah ibadah sampai ke konflik bernuansaagama seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan belahan lain nusantara. Seorang ahli agama-agama 1menyebutkan, sebetulnya kita tidak perlu terkejut untuk itu, karena seharusnya hal-hal seperti itu sudah bisa diduga sebelumnya. Kenapa? Karena kita tidak pernah secara serius membina hubungan dengan umat Islam lebih lanjut dengan berkata, semua kita sangat sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat berbagai agama, tetapi sejauh ini kita belum mau menjadikan realita kemajemukan (pluralisme) itu sebagai sebuah gaya dan sikap hidup. Kita ternyata masih hidup dalam alam berpikir”monokultur Barat” warisan dari pada zending masa lampau.

Sampai sekarang banyak geraja kita, ketika berpikir tentang Islam, masih sangat kuat dipengaruhi oleh alam berpikir yang “monokultur” dari Eropa masa lampau dan Amerika Utara, yang melulu melihat” keunggulan” kekristenan terhadap agama lain. Alam berpikir ini pulalah yang membentuk semacam teologi religionum, yang memisahkan antara “ orang beriman” dan “ yang tidak beriman”, dan yang pada gilirannya mendekati saudaranya yang berbeda agama dengan keangkuhan karena agamanya diyakini”lebih unggul” ketimbang agama saudaranya. Itulah sebabnya pandangan banyak kita tentang

agama-agama lain termasuk Islam (itu berarti juga terhadap para penganutnya) sangat dipenuhi oleh kecurigaan , syak wasangka , angkuh, mispersepsi dan sikap-sikap karikatural lainnya. Teologi dan kekristenan yang “ tidak ramah” lingkungan, karena kita belum pernah secara sungguh-sungguh menggumuli dan memahami konteks kita dalam berteologi.

Dalam konteks yang seperti itulah, kini kita berbicara kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat plural. Apakah ini upaya yang serius atau hanya sekedar pengembangan slogan-slogan saja? Kontribusi di tengah masyarakat plural merupakan panggilan hidup beragama yang sangat substansial: memberi makna pada kehidupan. Dan itu jugalah panggilan kristiani kita sebagai Garam dan Terang Dunia.

Kontribusi di tengah-tengah masyarakat plural memprasayaratkan kesediaan untuk berdialog. Dalam dan melalui dialog, orang belajar untuk tidak selalu harus sama tetapi juga belajar untuk menerima dalam perbedaan berarti juga menerima dan mengakui bahwa di dalam agama-agama lain ada hal-hal yang unik.

Hambatan-hambatan dalam berkontribusi di tengah Masyarakat Plural

  1. Internal: teologi yang kita anut, perilaku eksklusif, klaim kebenaran hanta ada pada kelompok sendiri, arogansi, dll.
  2. Agama dipakai sebagai kendaraan politik. Sebagai kendaraan politik, agama direndahkan dan dimandulkan, akibatnya kelompok agama bersaing dan bertentangan merebut jabatan. Indonesia selalu akan menjadi kacau, jika agama dipakai sebagai kendaraan politik.
  3. Jika pemimpin agama berusaha menjadi pemimpin negara. Pemimpin agama pada hakekatnya harus berfungsi sebagai nabi untuk memegang peranan sosial kontrol dan bukan menjadi penyelenggara kekuasaan negara. Jika pemimpin agama menjadi pemimpin negara, maka kebersamaan masyarakat sulit dibangun.
  4. Persoalan minoritas dan mayoritas. Arogansi mayoritas sama bahayanya dengan tirani minoritas. Ini bukan persoalan Islam-Kristen saja, sebab dalam kenyataannya, gereja-gereja sendiripun berperilaku sama terhadap kelompok minoritas di sekelilingnya. Seperti Parmalim. Baru-baru ini 2 pendeta di Medan mengirimkan surat keberatan kepada Poltabes dan Walikota Medan yang isinya berupa keberatan dibangunnya Rumah Parsaktian di Teladan, Medan: dengan isi surat dan cara yang kurang lebih sama dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh pihak-pihak mayoritas lainnya sebagai reaksi atas rencana pembangunan gereja.
  5. Sifat anarkhisme, yaitu yang tidak perduli agama dan hukum. Kerusuhan yang terjadi belakangan ini adalah pertanda anarkhisme, yang masih dimiliki oleh segolongan masyarakat elit yang takut kehilangan jabatan dan kekuasaan. Mereka tega membom rumah ibadat, menyulut kerusuhan demi kepentingan politik.

Hanya dengan mengatasi semuanya itu, kita bisa memberikan kontribusi dalam masyarakat dewasa ini.

Agenda Gereja:

1. Meninjau ulang dan merumuskan konstruksi teologi. Mestilah merupakan hasil langsung dari dialogdengan konteks masyarakat plural, termasuk di dalamnya menempatkan umatlain dalam pengakuan imannya.

  1. Masih dalam perumusan konstruksi teologi tersebut, gereja juga harus merumuskan ulang pemahamannya akan misinya. Strategi penginjilan dalam konteks masyarakat majemuk, seperti Indonesia acap membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke waktu. Bagaimanapun, pekabaran Injil harus tetap dilaksanakan, jika gereja mau tetapsetia dalam tugas panggilannya di dunia ini, termasuk di tengah ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin memuncak dewasa ini. Persoalannya adalah bagaimana agar pelaksanaan pekabaran Injil ini tidak terhalang oleh issue kristenisasi yang pada gilirannya memunculkan reaksi yang sangat merugikan esensi pekabaran Injil itu sendiri.
  2. Keterbukaan gereja untuk mengembangkan dialog. Dialog bukanlah sekedar sebuah percakapan, melainkan sebuah gaya hidup yang terbuka dan kesediaan menerima kehadiran sesama yang berbeda. Keterbukaan sikap itu mengandung juga makna keterbukaan untuk belajar dari kekayaan rohani sesama yang berbeda agama.

Dialog sebagai sebuah gaya hidup dalam masyarakat majemuk bukanlah sebuah basa-basi atau sekedar tata krama sosial, melainkan sebagai sebuah sikap iman yang terbit dari kesadaran dan pengakuan bahwa Allah mengasihi dan akan terus mengasihi semua orang. Sebab itu panggilan dari semua agama adalah mewujudkan kasih Allah itu. Inilah hakikat agama dan yang sekaligus menjadi makna beragama. Kasih dan keprihatinan Allah akan nasib dan masa depan kehidupan umat manusia inilah yang mempertemukan agama-agama. Dialog antar agama terwujud dalam upaya bersama mewujudkan kasih Allah; dalam upaya bersama memerangi segala sesuatu yang menjadi musuh kemanusiaan.

Dialog yang dimaksud bukan hanya dialog antar umat yang berbeda agama, tetapi juga dialog antar suku, budaya dan lapisan sosial. Misalnya di Kalimantan dibutuhkan dialog antara orang Dayak dan Madura, demikian juga di tempat yang lain, demikian juga dialog antar masyarakat biasa dengan kaum elit politik. Kesalahan pemerintahan ORBA selama ini yang mengakibatkan mudahnya tersulut kerusuhan yaitu: pembangunan pemukiman transmigrasi, tanpa pembangunan kemampuan hidup bersama antara masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat

  1. Penyusunan kurikulum di pendidikan teologi yang menempatkan studi tentang agama lain sebagai suatu pokok kajian yang dilakukan dengan semangat yang dialogis, dengan meninggalkan cara-cara dan pemahaman yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
5. Membangun dan mengembangkan Kesadaran Plural. Suatu masalah yang merusak
kebersamaan hidup selama ini adalah dengan tidak adanya kesadaran plural. Artinya
setiap orang kurang menghargai perbedaan yang ada di kalangan masyarakat umum.
Menyadari dan menghargai perbedaan yang ada. Menghargai perbedaan adalah
merupakan titik berangkat menuju kebersamaan. Perbedaan itu perlu disadari bukan
hanya dalam agama saja, tetapi juga dalam hal budaya dan kesukuan. Apalagi masyarakat
Indonesia dalam berbagai hal selalu berhubungan dengan perbedaan, misalnya
perbedaan suku, profesi, dll. Perbedaan itu justru harus dipakai membangun
kebersamaan. Terjadinya krisis disintegrasi saat ini karena selama pemerintahan ORBA
tidak ada pengharapan terhadap perbedaan.

PROCLAIMING CHRIST IN A PLURALISTIC WORLD

AN INDONESIAN PERSPECTIVE

Rev. Willem T.P. Simarmata, MA

INTRODUCTION

Hans Kung dengan sangat tepat dan mengesankan menegaskan:” No world peace withoutreligious peace” 1 . Penegasan ini amat relevan di tengahberbagai tragedi yang menimpa umat manusia di seantero bumi. Perjalanan sejarah di dunia telah membuktikan berbagai tragedi kemanusiaan yang dipicu oleh konflik antar umat beragama.

Sejarah juga telah bersaksi akan banyaknya orang yang dikorbankan atas nama agama, yang semestinya agama berkorban dengan kemanusiaan. Kitapun bertanya, apakah artinya agama jika bukan untuk kehidupan manusia?

Secara teologi, acuan kehidupan gereja dan orang-orang Kristen adalah Kristus sendiri. Gereja mengakui bahwa Kristus telah mengorbankan diriNya untuk keselamatan dan damai sejahtera umat manusia. Karena itu, gereja yang mengorbankan orang lain demi gereja, sesungguhnya ia tidak layak disebut sebagai gereja. Gereja ada demi umat manusia, bukan sebaliknya.

Dalam konteks ini, memberitakan Kristus sebagai bagian dari tugas panggilan gereja dan orang beriman, perlu dipahami sejernih mungkin. Tugas panggilan ini tidak terutama terletak pada peran manusia, seolah-olah Kristus sebagai objek pemberitaan saja. Justru sebaliknya, Kristus sendirilah yang menyatakan diriNya yang salah satu diantaranya melalui orang-orang percaya dipanggil untuk ambil bagian di dalamnya. Jaminan Yesus kepada para muridNya dan setiap orang percaya:” Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mat. 28:20) menyatakan kehadiran dan pekerjaanNya yang tetap berlangsung.

PROCLAIMING CHRIST IN THE MIDST OF RELIGIOUS PLURALITY

Dalam pidatonya di Universitas HKBP Nommensen Medan, Indonesia baru-baru ini, Presiden Jerman, Johanes Rau mengatakan pentingnya menyadari dan menerima kenyataan pluralitas agama di dunia. Selanjutnya, ia mengatakan:” Jika kita menutup diri (dalam eksklusivitas keagamaan) berarti kita hidup di luar zaman ini. Jauh sebelumnya, di kalangan WCC, masalah pluralitas agama, khususnya dialog dengan umat muslim sudah mendapat perhatian sejak 1969. WCC telah berhasil melakukan berbagai dialog antar tokoh kedua agama dari berbagai negera dengan berbagai kesepakatan dan

kerjasama konkret pula 2 Dapat dicatat bahwa Mukti Ali, seorang tokoh Islam Indonesia pernah mengikuti pertemuan tokoh agama multilateral yang diadakan WCC di Libanon (1970).

Upaya-upaya berharga demikian perlu direspon dan ditindaklanjuti oleh gereja-gereja anggota (bahkan semua gereja di dunia) sebagai bagian dari tugas panggilan gereja. Sebab sebuah perjumpaan antar umat beragama yang dimotivasi oleh kerinduan terciptanya kehidupan yang lebih baik pantas disambut dan ditekuni. Benar, bahwa dalam dialog-dialog yang dilakukan tidak selamanya tercapai kesepakatan dalam berbagai hal, namun paling tidak bisa tercapai saling pengertian.

Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan dimana semua agama besar dunia juga terdapat di dalamnya telah mengalami pasang surut kualitas hubungan antar agama. Wacana sekitar hubungan antar umat beragama dapat dikatakan mengalami kemajuan pesat dan luas melalui aneka seminar, dialog, kuliah, literatur dan sebagainya, meski dalam tataran prakteknya masih jauh dari yang diharapkan. Memang, Indonesia pernah mendapat pujian dari berbagai kalangan atas keberhasilannya mewujudkan toleransi antara umat beragama 3 Sayang sekali bahwa beberapa tahun terakhir ini pengalaman bangsa Indonesia menyatakan hal yang sangat berbeda. Di beberapa wilayah Indonesia terjadi konflik bahkan kerusuhan berdarah antar umat beragama, khususnya antara Kristen dan Muslim yang telah menelan ribuan korban.

Bagi orang-orang Kristen, wacana seputar pluralitas agama merupakan bagian dari tugas panggilannya di Indonesia. Akan tetapi yang jauh lebih penting dan mendesak mendapat perhatian khusus ialah praksis mengikut Kristus yang mewujud dalam sikap menghargai harkat dan martabat semua dan setiap manusia. Dalam hubungan ini, memberitakan Kristus tidak dimaksudkan bercorak verbalistik belaka melainkan aksi nyata sebagai perwujudan mengikut Kristus. Pemahaman dan sikap demikian sedikitnya mengacu pada pemahaman teologis berikut ini.

1. Keesaan Allah dan Kesatuan Umat Manusia

Alkitab menegaskan bahwa Allah itu Esa (bnd. Yes. 45:5; 46:9; Mrk. 12:29). Ini tidak hanya berarti bahwa orang Kristen memiliki Allah yang Esa, melainkan lebih menegaskan bahwa Allah yang Esa itulah pemilik semua dan setiap manusia. Itu juga berarti bahwa keharusan memelihara relasi yang baik diantara manusia harus bertolak dari kepemilikan dan perlakuan Allah terhadap manusia.

Dalam hal ini, gereja perlu beranjak dari sikap ekklesia sentrisnya sambil dengan rendah hati menyadari keterbatasannya dalam banyak hal, termasuk keterbatasan pengenalannya

pada Allah. Alkitab menyatakan keterbatasan manusia dengan kesempurnaan Allah yang jalan-jalanNya tidak terselami (Rom. 9:1519; Pengkotbah 11:5). Kebenaran yang sempurna hanya ada pada Allah, bukan pada manusia.

Karena itu, hubungan orang Kristen dengan penganut agama lain tidak terjalin atas dasar pemahaman dan penerimaan yang sama terhadap ajaran atau doktrin agama, melainkan atas dasar keragaman dan kesatuan umat manusia berhadapan dengan keesaan Allah.

Ini tidak berarti bahwa perbedaan yang ada dalam setiap agama dihapuskan. Perbedaan harus dengan jujur diakui dan diterima. Namun, perbedaan yang ada harus juga bertemu dalam hal-hal yang “mutlak” terutama dalam sikap pro kehidupan. Dalam hubungan ini, Konsili Vatikan II dengan tepat merumuskan :” Dalam hal-hal yang mutlak ada kesatuan: dalam hal-hal yang berbeda ada kebebasan; dan dalam segala sesuatu ada kasih”.

Orang Kristen mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruslamat dunia. Pengakuan ini tidak bisa ditawar-tawar. Meskipun keyakinan seperti itu tidak diterima penganut agama lain, namun orang-orang Kristen tetap menerima dan memperlakukan sesama manusia sebagai milik Allah yang Esa itu.

2. Hubungan Manusia sebagai sesama Imago Dei

Kejadian 1:26-28 dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia adalah sama-sama gambar Allah. Dalam kaitan itu, hubungan dengan manusia lebih merupakan hubungan sesama gambar Allah. Keberadaan manusia sebagai gambar Allah sedikitnya menyangkut tiga hal :

1. Semua manusia adalah milik Allah

2. Manusia mewarisi sifat-sifat Allah yang pengasih, pemelihara dan berbagai sifat baik lainnya

3. Perjumpaan dan hubungan antar manusia adalah hubungan sesama manusia, sesama gambar Allah

Atas dasar itu, ketika orang Kristen bertemu dengan penganut agama lain, seharusnya yang lebih mengemuka adalah kesadaran bahwa perjumpaan itu terutama merupakan perjumpaan sesama Imago Dei. Kesadaran demikian membuka jalan bagi terciptanya kehidupan yang saling menghargai dan saling menghormati. Sebaliknya, ketika label agama menjadi faktor yang lebih mendominasi, amka kehidupan masyarakat amat rentan pada penunggangan aneka kepentingan yang dapat berujung pada pertentangan bahkan permusuhan antara penganut agama yang berbeda.

Sebagai Imago Dei, penganut agama lainpun dapat menyatakan kasih Allah. Dalam artian ini, orang Kristen dapat menerima kasih Allah melalui perbuatan baik penganut agama lain. Sebaliknya, orangorang Kristen adalah perpanjangan tangan Kristus untuk mengasihi orang lain, termasuk di dalamnya penganut agama lain.

Atas dasar pemahaman itu pula, orang Kristen dengan tegas menolak setiap tindakan kesewenang-wenangan atau kekerasan terhadap manusia tanpa memandang latar-belakang agama. Sebuah contoh yang baik untuk ini tercermin melalui sikap dan seruan PGI yang mengecam serangan teroris ke WTC, New York, September 2001 yang lalu dan invasi militer AS ke Afganistan. Sikap dan seruan ini semata-mata didasarkan atas dasar kemanusiaan.

Pengakuan atas kesamaan manusia sebagai Imago Dei juga berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kejadian 1 menyatakan bahawa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama gambar Allah. Dalam kaitan itu, memberitakan Kristus adalah sungguh-sungguh menyatakan sikap dan perilaku yang mengakui kesetaraan perempuan dan laki-laki. Secara negatif dapat dikatakan bahwa ketika diskriminasi dan ketidakadilan gender merajalela, hal itu menunjukkan pengingkaran terhadap amanat Kristus.

Dalam cerita penciptaan, keberadaan manusia sebagai Imago Dei berkaitan dengan tanggung- jawabnya merawat dan memelihara ciptaan, seirama dengan tindakan Allah yang merawat dan memelihara ciptaanNya. Itu juga berarti bahwa pengakuan akan Kristus sebagai Juruslamat dunia, mengimplikasikan tanggung jawab manusia memelihara ciptaan. Orang-orang Kristen terpanggil menyatakan keperduliaannya pada kelestarian alam ciptaan Tuhan, di tengah krisis ekologi dewasa ini. Dunia yang kian dirasuki roh konsumerisme secara merata diikuti oleh tindakan kekerasan terhadap alam. Dalam kenyataan demikian, memberitakan Kristus sebagai Juruslamat dunia adalah mewujudnyatakan sikap santun dan hormat terhadap alam ciptaan Tuhan.

3. Garam dan Terang Dunia, bukan Garam dan Terang Gereja

Yesus menyatakan, “Kamu adalah garam dunia” dan Kamu adalah terang dunia “(Mat. 5:13-14). Tidak disebut, :” Kamu adalah garam dan terang gereja”. Sebagai garam dunia, pengikut Kristus tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi juga harus memberi cita rasa, mencegah pembusukan dan mengupayakan segala sesuatu yang menopang kehidupan bukan dari dirinya sendiri, melainkan hanya karena Kristus sendiri. Amanat ini kian mengokohkan bahwa memberitakan Kristus tidak hanya melalui kata-kata (apalagi indoktrinasi) melainkan sebagai gerak hidup beriman. Memberitakan Kristus adalah terutama meneladani Kristus.

Inilah yang oleh J.B. Metz disebut sebagai “Kristen yang dapat dimengerti” (intelligibility Christian)`4 artinya, kekristenan tidak dimengerti terutama melalui doktrin dan rumusan-rumusan dogmanya melainkan terutama pada cita rasa kehadirannya yang mencintai rasa kehadirannya, yang mencintai dan membangun kehidupan bersama

Dengan demikian, isi pemberitaan tidak saja tentang Kristus melainkan pemberlakuan amanat Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, yang palingpenting bukan supaya orang tahu apa yang dipercayai orang Kristen, bukan pula rumusan-rumusan doktrin

Kristen tentang kebenaran dan jalan keselamatan, melainkan praktek kehidupan orang-orang Kristen yang menyatakan kasih, kebenaran, keadilan dan cinta kehidupan sebagaimana Kristus telah dan sedang melakukannya.

Memberitakan Kristus tanpa menyebut nama Kristus, atau sebaliknya menyangkal Kristus meskipun mulutnya menyebut nama Kristus bukanlah sesuatu yang asing dalam Alkitab. Dalam kaitan ini, Miranda benar dengan mengatakan: ” God is not God When we try to Approach (God) while avoiding our neighbor 5. Ini mengingatkan kita pada firman Allah, “ Bangsa ini memuliakan namaKu dengan bibirnya tetapi hatinya jauh dari padaKu” (Yes. 29:13).

Secara teologis, hal ini terkait dengan pemenuhan amanat Kristus untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan akal budi serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Sebutan “sesama manusia” disini adalah melintas batas-batas latar-belakang agama, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Dalam artian itu, memberitakan Kristus juga menyangkut bagaimana seorang Kristen memperlakukan semua orang terutama atas dasar sesama manusia. Dengan demikian, orang lain tidak saja mendengar tentang Kasih Kristus, akan tetapi mengalami Kasih Kristus.

Alkitab bersaksi bahwa Allah menghendaki kesepadanan kata dengan perbuatan. Itu sebabnya Allah menolak bahkan membenci ibadah, persembahan, korban dan segala yang berkaitan dengan ritus yang tidak disertai dengan praktek keadilan dan kebenaran (Yes. 1:10-17; Amos 5:21-24)

Yesus sangat tegas menolak formalitas agama yang menghalangi manusia berbela rasa. Ia antara lain menegaskan bahwa bukan manusia untuk Sabat, melainkan sabat untuk manusia. Itu juga berarti bahwa bukan manusia untuk agama tetapi agama untuk manusia. Yesus adalah contoh sempurna bagi agape. Ia menyatakannya dengan menjadi pembela orang miskin dan terabaikan. Ia melanggar hukum sipil dan peraturan agama demi kebutuhan manusia. Mengikut dan memberitakan Kristus berarti memihak pada kebenaran dan mencintai kehidupan.

Cerita tentang orang Samaria yang baik hati menjelaskan bahwa kasih agape tidak pilih kasih. Cerita ini mendefinisikan bahwa semua orang dengan aneka perbedaan latar-belakang bahkan musuh sekalipun adalah sama. Pengajaran dan kehidupan Yesus mengutamakan tindakan mengasihi sambil menolak fanatisme keagamaan. Sebab, orang yang menghargai agama dengan segala ritus-ritusnya tidak menjamin sebuah solidaritas. Tetapi justru yang dipandang kafir dan musuh bangsa oleh Yahudi, mempraktekkan belas kasihan yang nyata. Yesus menyampaikan perumpamaan itu, tidak terutama supaya cerita ini terus diwariskan melainkan lebih menuntut pemberlakuannya secara nyata. Perbedaan latar-belakang agama dan kebangsaan menjadi larut, sebab setiap orang adalah sama.

4. Jalan Salib

Memberitakan Kristus adalah menerima salib sebagai bagian dari konsekuensi mengikuti Kristus. Ini sama sekali tidak berarti orang-orang Kristen mencari salib atau penderitaan ala masokhisme. Tetapi, orang-orang Kristen siap menerima salib sebagai bagian dari ketaatanNya kepada Kristus, kalau harus menghadapinya.

Peran orang Kristen sebagai terang dunia juga menyangkut panggilan memperjuangakan keadilan dalam bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bidang-bidang kehidupan bersama lainnya. Dunia perlu mengetahui bahwa orang-orang Kristen tidak mungkin diam dalam kenyataan berbagai ketidakadilan di tengah masyarakat. Sebab, Kristus sendiri dengan tegas menentang praktek ketidakadilan dan praktek dehumanisasi. Orang Kristen yang memilih jalan kompromi dengan kekuasaan yang lalim, ia mungkin saja tetap sebagai angota gereja namun ia bukanlah pengikut Kristus dalam arti yang sesungguhnya. Yesus Kristus benar-benar anti kekerasan dan mencintai damai sejahtera mengikut Kristus, dengan demikian, adalah masuk dalam gerakNya yang menolak segala bentuk penindasan dan siap menanggung derita kalau harus menghadapinya.

Dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan tidak tertutup kemungkinan bahwa seseorang kristen menghadapi tantangan bahkan penderitaan. Sejarah telah bersaksi kepada kita akan banyaknya orang percaya dan yang harus menanggung kesengsaraan karena perjuangannya demi terwujudnya keadilan dan kebenaran.

Karena itu, memberitakan Kristus adalah juga berisikan perjuangan mengatasi kekerasan, bukan dengan kekerasan baru, melainkan melalui pengorbanan atas dasar kasih agape. Disini gereja dan orang Kristen terpanggil memberi citra diri yang tidak mengherankan tetapi menampakkan wajah yang bersahabat dan pro- kehidupan.

PERANAN CHRISTIAN EDUCATION

Menyikapi pluralotas agama, Gereja hendaknya bergerak to shaping a more comprehensive and coherant theory and practise of Christian education in the contex of religious plurality.

Satu hal yang menggembirakan dan memberi harapan ke depan ialah kenyataan di beberapa Theological Seminaries, khususnya yang tergabung dalam Persekutuan Sekolah Tinggi Teologi se- Indonesia (terutama dari latar-belakang mainline Protestan) yang menyajikan mata kuliah Teologi Religionum, satu mata kuliah yang relatif baru di lingkungan perguruan tinggi teologi. Kehadiran mata kuliah ini merupakan suatu terobosan yang sangat tepat sebagai wujud kesadaran dan keperdulian pada realitas pluralitas agama di Indonesia.

Akan tetapi, dalam pelayanan pengajaran sidi di gereja dan Pendidikan Agama Kristen di sekolah-sekolah umum belum menunjukkan perubahan signifikan. Bagi Indonesia, sama seperti beberapa negara lain, yang mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah

erupakan salah satu kesempatan dimana peserta didik diperlengkapi dengan pemahaman dan sikap yang baik dan benar terhadap penganut agama lain. Peserta didik dapat ditolong untuk melihat dimana pusat rawan konflik dan dimana percakapan dan kerjsama dapat dimulai.

Bagi gereja, hal itu sebenarnya dapat membantu tugas pelayanan katekisasi sidi(confirmation class). Masalahnya ialah bahwa baik dalam materi pengajaran sidi maupun pengajaran agama Kristen di sekolah-sekolah formal, masalah hubungan orang kristen dengan penganut agama lain, sama sekali tidak mendapat perhatian. Sejauh ini, kurikulum PAK di sekolah-sekolah di Indonesia dan materi pengajaran katekisasi sidi di gereja-gereja lebih merupakan “alih pengetahuan doktrin dan tradisi gereja”. Topik pembahasan “kasih” misalnya, tidak secara konkret dikaitkan dengan dasar perilaku terhadap semua orang tanpa memandang latar-belakang agama.

Bahkan, Handbook for Confirmation Ministry yang diterbitkan oleh Lutheran World Federationpun (yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia), terkesan masih membutuhkan beberapa penambahan penting. Sebab, materi yang disajikan belum secara eksplisit menguraikan bagaimana hubungan orang Kristen dengan penganut agama lain sebagai bagian dari tugas panggilan “proclaiming Christ”.

Dunia sedang bergerak ke arah proses pembelajaran holistik. Artinya, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di ruangan kelas tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka itu, isi kurikulum seperti yang dicanangkan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together dapat tercapai.

Sehubungan dengan itu, PAK seharusnya mampu memotivasi peserta didik untuk mencermati persoalan kehidupan. Kemudian, megambil keputusan dalam bersikap berdasarkan nilai-nilai kristiani. Untuk itu PAK dapat dikembangkan berbasis kompetensi yang kristiani, yaitu supaya peserta didik menjadi garam dan terang dunia. Di sini peserta didik difasilitasi untuk:

  1. Tidak bersikap fanatisme sempit tetapi memiliki toleransi yang tinggi
  2. Memiliki kesadaran pentingnya HAM
  3. Memiliki kesadaran hormat terhadap ciptaan Tuhan
  4. Memiliki kesadaran mengembangkan kreativitas
  5. Tidak kehilangan nilai-nilai kristiani dalam menghadapi dan menentukan aneka pilihan

Singkatnya, PAK berbasis kompetensi terfokus pada life center

Dalam kerangka itu, Jack L. Seymour dan Donald E. Miller menawarkan agenda masa depan PAK antara lain 6:

  1. Christian education must seek to recover its historic commitment to social transformation

  1. Christian educators must continue to define Christian ecucation as a central yet distinct ministry of The Curch
  2. The Relationship of developmental psychologial theory to Christian ecucation must be considered
  3. Christian educator must seek to clarify the relationship of christian education to the wider learning enviroment
  4. The foundational relationship for christian education to both educational theory and theology must be explored continually.

Materi dan metode pengajaran Christian Education dan Confirmation class yang baikdan mantap serta kemampuan para pendidik yang baik memang belum menjamin tercapainya tujuan. Akan tetapi materi dan metode yang tidak baik sudah hampir menjamin kegagalan mencapai tujuan.

PENUTUP

Saya menulis artikel ini di tengah suasana Indonesia yang sedang berkabung karena tragedi pemboman di Bali, 12 oktober 2002 yang menelan korban lebih dari 180 orang meninggal dan lebih dari 300 orang luka-luka. Tragedi ini terjadi justru ditengah perjuangan dunia mengatasi kekerasan. Bagaimana peranan agama-agama di tengah merajalelanya kekerasan? Bagaimana memberitakan Kristus di tengah budaya kekerasan yang tengah merasuki hampir seluruh bidang kehidupan umat manusia? Ia pasti menuntut keterpaduan pemberitaan kebenaran Injil dan tindakan konkret. Itu tidak berarti bahwa setiap orang percaya melakukan semua hal, tetapi semua orang percaya melakukan semua tugas panggilan berdasarkan anugerah dan talenta yang dari Tuhan kepada setiap orang percaya.

WTP/ ceramah/fh



1 Selengkapnya lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search og a New Ethic, New York crossroad, 1991

2 Hasil-hasil percakapan selama kurun waktu 1969-1989 lihat kompilasi Stuart E. Brown, Meeting Faith Twenty Years sof Christian- Muslim Conversation Sponsored by the WCC, Geneva: WCC Publication, 1989

3 Lihat misalnya hasil penelitian Gereja Presbyterian Amerika Serikat dalam Byron L. Haines and Frank L. Cooley (eds), Christian and Muslim Together, An Exploration by Presbyterian, The Geneva Press, p.83

4 Selengkapnya lihat Johann Baptist Metz, Faith in History and Society, New York: The Seabury Press, 1980.

5 Quoted by Robert M. Brown, Unexpected News Reading the Bible with Third World Eyes, Philadelphia: Westminster Press, 1984, p.71

6 Jack l. Seymore and Donald E. Miller, Comtemporary Approaches Christian Education, Nashville: Abingdon Press, 1984, pp. 153-156