Minggu, 21 Oktober 2007

Pluralitas dan Semangat Perdamaian

Pluralitas dan Semangat Perdamaian

Dasar Pemikiran:

Umat Kristen di tengah-tengah masyarakat berada dalam konteks masyarakat plural, baik itu dalam hal suku maupun agama. Sering kali pluralitas ini menjadi sesuatu yang potensial untuk terjadinya konflik yang berbau SARA.

Permasalahannya adalah: apakah konflik ini benar-benar terjadi karena faktor perbedaan suku atau agama? Bukankah setiap ajaran agama mengajarkan kasih dan perdamaian? Apakah memang benar yang dikatakan oleh Eka Darmaputera bahwa agama itu berwajah ganda? Di satu sisi dia anggun dan suci. Dia berbicara mengenai Allah yang penuh kasih dan berbicara tentang perdamaian. Akan tetapi di sisi yang lain agama adalah kekerasan. Matanya bisa tiba-tiba menyala penuh kebencian dan mulutnya siap menelan lawan-lawannya. Tangannya tak segan-segan melempar bom atau menghunus pedang.

Agar umat Kristen dapat menjalankan hidup damai di tengah-tengah masyarakat, maka kita perlu mengenal pluralitas masyarakat Indonesia. Memahami dan menghayati ajaran iman Kristen yang menuntut setiap manusia untuk hidup damai.

Tujuan

  1. Peserta memahami seperti apa konteks pluralitas masyarakat Indonesia.
  2. Peserta memahami dan menghayati secara alkitabiah arti hidup dalam perdamaian dengan semua orang.

Tahap-Tahap Kegiatan Penelaahan Alkitab

1. Kegiatan Awal (10 menit)

Pilihlah sebuah benda (bisa benda apa saja, atau bisa juga kita minta salah seorang peserta untuk maju ke depan), kemudian peserta diminta untuk mendeskripsikan benda (atau rekan peserta) tersebut melalui kata-katanya sendiri. Kemudian peserta saling membagi pandangannya tentang hal tersebut.

Tujuan Kegiatan:

Melalui deskripsi yang diberikan oleh masing-masing peserta kita bisa melihat bahwa tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang yang berbeda-beda tersebut, sedikit banyak kita bisa membayangkan betapa beragamnya manusia dan sudut pandangnya. Setiap orang memiliki sudut pandang sendiri yang bisa jadi dianggap sebagai kebenaran, namun kebenaran seseorang belum tentu sama dengan kebenaran orang lain. Seperti itulah kira-kira konteks keberagamaan yang ada di Indonesia.

2. Pembacaan Alkitab (Lukas 7:1-10)

3. Keterangan

Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang non-Yahudi yang barangkali bekerja pada Herodes Antipas (lih. Mat 8:5-13). Dia seorang kaya yang jujur dalam jajaran kepolisian dan mempunyai cukup uang untuk membantu pembangunan rumah ibadah di Kapernaum. Wataknya sangat mulia sebagaimana tampak dari perhatiannya kepada hambanya, sikap hormatnya kepada orang Yahudi, serta perasaan tak layaknya di hadapan Yesus.

Sebagai seorang perwira, di satu sisi dia harus taat kepada para perwira atasannya, namun di sisi lain dia juga dapat memaksakan ketaatan kepada bawahannya. Dalam konteks seperti ini, dia tahu bahwa dalam diri Yesus ada kekuasaan dari Allah untuk menaklukkan dan menyembuhkan penyakit. Mutu imannya terlihat dari keyakinannya bahwa Yesus berkuasa menyembuhkan walau dengan sepatah kata perintah saja. Yesus menghargai iman semacam itu dan mengatakan bahwa iman seorang non-Yahudi telah melebihi orang Yahudi (ayat 9).

Teks ini adalah salah satu cerita tentang perjumpaan Yesus dengan orang non-Yahudi. Di dalam berbagai pertemuan semacam ini, Yesus tidak mempersoalkan masalah agama melainkan masalah iman (lih. Mat 15:21-28). Yesus tidak datang untuk meluruskan doktrin atau agama. Ajaran-Nya merupakan manifestasi kehidupan yang mengandalkan Allah secara total. Totalitas ini melahirkan hidup yang sejahtera (syalom).

Kata kunci teks ini adalah iman. Seorang perwira, yang notabene bukan orang Yahudi, percaya kepada Yesus yang sanggup menyembuhkan. Iman bukan agama. Kisah sang perwira ini membuktikan bahwa iman dapat menembus batas-batas agama. Tanpa menjalani ritus untuk menjadi seorang penganut agama Yahudi (agama Yesus), dia langsung beriman kepada Kristus. Yesus juga tidak menuntut bahwa sang perwira harus menganut agama tertentu agar permintaannya dikabulkan.

‘Agama’ dan ‘iman’ bisa jadi menimbulkan salah pengertian dalam hidup kita. Pengertian 'iman' bisa disempitkan menjadi 'agama'. Akhirnya, konflik dan pertikaian atas nama agama meruak karena ada pihak-pihak yang memaksakan kebenaran 'agama' dengan mengabaikan bahasa iman. Seperti kegiatan awal tadi, setiap orang bisa saja memiliki pandangan tertentu tentang sebuah hal. Dalam hal ini setiap orang akan merasa benar meskipun kebenaran yang diungkapkannya belum tentu kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu, setiap orang beragama perlu membangun kesadaran bahwa kebenarannya belum menjadi kebenaran bagi orang beragama lain. Jika ini terbangun dengan baik konflik yang berawal dari pemaksaan kehendak bisa dihindari atau paling tidak diminimumkan.

Di Indonesia ini kita hidup di dalam konteks keberagaman agama. Penghormatan akan pluralitas ini berarti bahwa di dalam hidup keberagamaan warga, tidak boleh ada pihak yang mengklaim bahwa dirinya memiliki kebenaran satu-satunya. Beriman bukan berarti mendominasi kebenaran religius melainkan suatu keputusan eksistensial untuk mengarahkan diri kepada sesuatu yang dianggapnya benar. Jika setiap orang memaksakan kebenaran yang ada pada dirinya bagi orang lain maka yang terjadi adalah konflik, pertikaian, bahkan perang yang pada akhirnya melahirkan kerugian, penderitaan, bahkan kematian yang tidak semestinya yang pada hakikatnya bertentangan dengan iman itu sendiri.

Penghargaan atas pluralitas membutuhkan kerukunan di antara mereka yang memiliki perbedaan. Perjumpaan Yesus dengan orang lain dibangun tanpa mempersoalkan embel-embel keagamaan. Dia justru memberikan penekanan terhadap masalah iman.

Sebagai orang Kristen, kita wajib meneladani Yesus dalam membangun perjumpaan yang sehat dengan orang beragama lain. Jika masyarakat yang berbeda agama ini saling menghargai dan hormat-menghormati niscaya bangsa ini dapat menjadi teladan bagi bangsa lain dalam membangun pluralitas yang sehat. Mengapa agama yang begitu mulia harus direndahkan menjadi sarana kebencian, kekerasan, dan perang? Membangun kehidupan yang sehat dalam konteks pluralitas, setiap umat beragama mestinya mencamkan ucapan Yesus yang dikenal sebagai golden rule dalam Matius 7:12: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.

4. Pertanyaan Untuk Diskusi

  1. Berdasarkan Lukas 7:1-10 ini, apa pendapat Saudara mengenai iman sang perwira kepada Yesus, meskipun sang perwira memiliki latar belakang agama yang berbeda dari para pengikut Yesus dan bahkan dari Yesus sendiri? Bagaimana sikap Yesus terhadap hal tersebut?
  2. Menurut Saudara, bagaimana kita bisa mencapai iman yang sesungguhnya kepada Yesus Kristus, dengan bercermin kepada iman sang perwira yang telah melampaui batas-batas berpegang kepada kebenaran diri sendiri?
  3. Bagaimana caranya kita bisa mengaplikasikan hukum emas Matius 7:12 ke dalam kehidupan yang penuh dengan keberagaman terutama dalam konteks kehidupan beragama kita? Hambatan apa yang bisa kita temui? Berbagilah di antara sesama peserta mengenai bagaimana cara menghadapinya!
  4. Organisasi kemahasiswaan yang berdasarkan agama cukup eksis di negara kita, misalnya GMKI, HMI, PMKRI, dll. Bagaimana GMKI bisa menembus batas-batas agama untuk menjalin perdamaian sesama anak bangsa?

Pearaja Tarutung, Paskah 2004

Pdt W.T.P. Simarmata, MA

0 komentar: