Minggu, 21 Oktober 2007

KONTRIBUSI UMAT KRISTEN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA DAN NEGARA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT PLURAL

KONTRIBUSI UMAT KRISTEN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA DAN NEGARA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT PLURAL

Willem TP.Simarmata, MA

Para pemimpin kita selalu berkata bahwa agama-agama di Indonesia secara bersama terpanggil untuk meletakkan landasan etis moral dan spiritual dalam pembangunan bangsa dan negara kita. Ini juga yang selama beberapa periode menghiasi GBHN kita selama Orde Baru. Namun di dalamnya juga terdapat ironi. Kita menyaksikan, misalnya: betapa krisis nilai dan moral, justru meningkat dengan makin maraknya kehidupan beragama. Pembangunan gereja yang makin banyak dan indah, misalnya tumbuh berbarengan dengan laris manisnya Togel dan sejenisnya. Tindak kekerasan dan pembunuhan bahkan terjadi atas nama agama, sehingga tidak jarang muncul pertanyaan :” apakah sumbangan atau kontribusi agama-agama bagi pembangunan masyarakat?”

Beragama memang tidak sama dengan berTuhan. Kenyataan hidup kita selama ini, kita telah menjadi lebih taat kepada agama ketimbang kepada Tuhan. Keadaan seperti ini sudah cukup banyak direkam oleh sejarah. Lihat saja, misalnya: bagaimana pioner-pioner Amerika yang membumihanguskan kehidupan banyak suku bangsa Indian dengan membawa pedang dan salib secara bersamaan. Atau praktek inkwisasi yang terjadi ditengahpuncak kekristenan pada abad pertengahan, dimana dengan gereja membakar atau menghukum mati orang-orang yang berpikiran berbeda dengan ajaran resmi gereja. Jadi, kebangkitan agama bisa juga terjadi beriringan dengan keruntuhan moral.

Akhir-akhir ini, kita sering sekali dikejutkan oleh berbagai peristiwa kekerasan yang bernuansa agama yang di tengah masyarakat. Dari mulai sulitnya mendirikan rumah ibadah, pembakaran atau perusakan rumah ibadah sampai ke konflik bernuansaagama seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan belahan lain nusantara. Seorang ahli agama-agama 1menyebutkan, sebetulnya kita tidak perlu terkejut untuk itu, karena seharusnya hal-hal seperti itu sudah bisa diduga sebelumnya. Kenapa? Karena kita tidak pernah secara serius membina hubungan dengan umat Islam lebih lanjut dengan berkata, semua kita sangat sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat berbagai agama, tetapi sejauh ini kita belum mau menjadikan realita kemajemukan (pluralisme) itu sebagai sebuah gaya dan sikap hidup. Kita ternyata masih hidup dalam alam berpikir”monokultur Barat” warisan dari pada zending masa lampau.

Sampai sekarang banyak geraja kita, ketika berpikir tentang Islam, masih sangat kuat dipengaruhi oleh alam berpikir yang “monokultur” dari Eropa masa lampau dan Amerika Utara, yang melulu melihat” keunggulan” kekristenan terhadap agama lain. Alam berpikir ini pulalah yang membentuk semacam teologi religionum, yang memisahkan antara “ orang beriman” dan “ yang tidak beriman”, dan yang pada gilirannya mendekati saudaranya yang berbeda agama dengan keangkuhan karena agamanya diyakini”lebih unggul” ketimbang agama saudaranya. Itulah sebabnya pandangan banyak kita tentang

agama-agama lain termasuk Islam (itu berarti juga terhadap para penganutnya) sangat dipenuhi oleh kecurigaan , syak wasangka , angkuh, mispersepsi dan sikap-sikap karikatural lainnya. Teologi dan kekristenan yang “ tidak ramah” lingkungan, karena kita belum pernah secara sungguh-sungguh menggumuli dan memahami konteks kita dalam berteologi.

Dalam konteks yang seperti itulah, kini kita berbicara kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat plural. Apakah ini upaya yang serius atau hanya sekedar pengembangan slogan-slogan saja? Kontribusi di tengah masyarakat plural merupakan panggilan hidup beragama yang sangat substansial: memberi makna pada kehidupan. Dan itu jugalah panggilan kristiani kita sebagai Garam dan Terang Dunia.

Kontribusi di tengah-tengah masyarakat plural memprasayaratkan kesediaan untuk berdialog. Dalam dan melalui dialog, orang belajar untuk tidak selalu harus sama tetapi juga belajar untuk menerima dalam perbedaan berarti juga menerima dan mengakui bahwa di dalam agama-agama lain ada hal-hal yang unik.

Hambatan-hambatan dalam berkontribusi di tengah Masyarakat Plural

  1. Internal: teologi yang kita anut, perilaku eksklusif, klaim kebenaran hanta ada pada kelompok sendiri, arogansi, dll.
  2. Agama dipakai sebagai kendaraan politik. Sebagai kendaraan politik, agama direndahkan dan dimandulkan, akibatnya kelompok agama bersaing dan bertentangan merebut jabatan. Indonesia selalu akan menjadi kacau, jika agama dipakai sebagai kendaraan politik.
  3. Jika pemimpin agama berusaha menjadi pemimpin negara. Pemimpin agama pada hakekatnya harus berfungsi sebagai nabi untuk memegang peranan sosial kontrol dan bukan menjadi penyelenggara kekuasaan negara. Jika pemimpin agama menjadi pemimpin negara, maka kebersamaan masyarakat sulit dibangun.
  4. Persoalan minoritas dan mayoritas. Arogansi mayoritas sama bahayanya dengan tirani minoritas. Ini bukan persoalan Islam-Kristen saja, sebab dalam kenyataannya, gereja-gereja sendiripun berperilaku sama terhadap kelompok minoritas di sekelilingnya. Seperti Parmalim. Baru-baru ini 2 pendeta di Medan mengirimkan surat keberatan kepada Poltabes dan Walikota Medan yang isinya berupa keberatan dibangunnya Rumah Parsaktian di Teladan, Medan: dengan isi surat dan cara yang kurang lebih sama dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh pihak-pihak mayoritas lainnya sebagai reaksi atas rencana pembangunan gereja.
  5. Sifat anarkhisme, yaitu yang tidak perduli agama dan hukum. Kerusuhan yang terjadi belakangan ini adalah pertanda anarkhisme, yang masih dimiliki oleh segolongan masyarakat elit yang takut kehilangan jabatan dan kekuasaan. Mereka tega membom rumah ibadat, menyulut kerusuhan demi kepentingan politik.

Hanya dengan mengatasi semuanya itu, kita bisa memberikan kontribusi dalam masyarakat dewasa ini.

Agenda Gereja:

1. Meninjau ulang dan merumuskan konstruksi teologi. Mestilah merupakan hasil langsung dari dialogdengan konteks masyarakat plural, termasuk di dalamnya menempatkan umatlain dalam pengakuan imannya.

  1. Masih dalam perumusan konstruksi teologi tersebut, gereja juga harus merumuskan ulang pemahamannya akan misinya. Strategi penginjilan dalam konteks masyarakat majemuk, seperti Indonesia acap membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke waktu. Bagaimanapun, pekabaran Injil harus tetap dilaksanakan, jika gereja mau tetapsetia dalam tugas panggilannya di dunia ini, termasuk di tengah ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin memuncak dewasa ini. Persoalannya adalah bagaimana agar pelaksanaan pekabaran Injil ini tidak terhalang oleh issue kristenisasi yang pada gilirannya memunculkan reaksi yang sangat merugikan esensi pekabaran Injil itu sendiri.
  2. Keterbukaan gereja untuk mengembangkan dialog. Dialog bukanlah sekedar sebuah percakapan, melainkan sebuah gaya hidup yang terbuka dan kesediaan menerima kehadiran sesama yang berbeda. Keterbukaan sikap itu mengandung juga makna keterbukaan untuk belajar dari kekayaan rohani sesama yang berbeda agama.

Dialog sebagai sebuah gaya hidup dalam masyarakat majemuk bukanlah sebuah basa-basi atau sekedar tata krama sosial, melainkan sebagai sebuah sikap iman yang terbit dari kesadaran dan pengakuan bahwa Allah mengasihi dan akan terus mengasihi semua orang. Sebab itu panggilan dari semua agama adalah mewujudkan kasih Allah itu. Inilah hakikat agama dan yang sekaligus menjadi makna beragama. Kasih dan keprihatinan Allah akan nasib dan masa depan kehidupan umat manusia inilah yang mempertemukan agama-agama. Dialog antar agama terwujud dalam upaya bersama mewujudkan kasih Allah; dalam upaya bersama memerangi segala sesuatu yang menjadi musuh kemanusiaan.

Dialog yang dimaksud bukan hanya dialog antar umat yang berbeda agama, tetapi juga dialog antar suku, budaya dan lapisan sosial. Misalnya di Kalimantan dibutuhkan dialog antara orang Dayak dan Madura, demikian juga di tempat yang lain, demikian juga dialog antar masyarakat biasa dengan kaum elit politik. Kesalahan pemerintahan ORBA selama ini yang mengakibatkan mudahnya tersulut kerusuhan yaitu: pembangunan pemukiman transmigrasi, tanpa pembangunan kemampuan hidup bersama antara masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat

  1. Penyusunan kurikulum di pendidikan teologi yang menempatkan studi tentang agama lain sebagai suatu pokok kajian yang dilakukan dengan semangat yang dialogis, dengan meninggalkan cara-cara dan pemahaman yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
5. Membangun dan mengembangkan Kesadaran Plural. Suatu masalah yang merusak
kebersamaan hidup selama ini adalah dengan tidak adanya kesadaran plural. Artinya
setiap orang kurang menghargai perbedaan yang ada di kalangan masyarakat umum.
Menyadari dan menghargai perbedaan yang ada. Menghargai perbedaan adalah
merupakan titik berangkat menuju kebersamaan. Perbedaan itu perlu disadari bukan
hanya dalam agama saja, tetapi juga dalam hal budaya dan kesukuan. Apalagi masyarakat
Indonesia dalam berbagai hal selalu berhubungan dengan perbedaan, misalnya
perbedaan suku, profesi, dll. Perbedaan itu justru harus dipakai membangun
kebersamaan. Terjadinya krisis disintegrasi saat ini karena selama pemerintahan ORBA
tidak ada pengharapan terhadap perbedaan.

PROCLAIMING CHRIST IN A PLURALISTIC WORLD

AN INDONESIAN PERSPECTIVE

Rev. Willem T.P. Simarmata, MA

INTRODUCTION

Hans Kung dengan sangat tepat dan mengesankan menegaskan:” No world peace withoutreligious peace” 1 . Penegasan ini amat relevan di tengahberbagai tragedi yang menimpa umat manusia di seantero bumi. Perjalanan sejarah di dunia telah membuktikan berbagai tragedi kemanusiaan yang dipicu oleh konflik antar umat beragama.

Sejarah juga telah bersaksi akan banyaknya orang yang dikorbankan atas nama agama, yang semestinya agama berkorban dengan kemanusiaan. Kitapun bertanya, apakah artinya agama jika bukan untuk kehidupan manusia?

Secara teologi, acuan kehidupan gereja dan orang-orang Kristen adalah Kristus sendiri. Gereja mengakui bahwa Kristus telah mengorbankan diriNya untuk keselamatan dan damai sejahtera umat manusia. Karena itu, gereja yang mengorbankan orang lain demi gereja, sesungguhnya ia tidak layak disebut sebagai gereja. Gereja ada demi umat manusia, bukan sebaliknya.

Dalam konteks ini, memberitakan Kristus sebagai bagian dari tugas panggilan gereja dan orang beriman, perlu dipahami sejernih mungkin. Tugas panggilan ini tidak terutama terletak pada peran manusia, seolah-olah Kristus sebagai objek pemberitaan saja. Justru sebaliknya, Kristus sendirilah yang menyatakan diriNya yang salah satu diantaranya melalui orang-orang percaya dipanggil untuk ambil bagian di dalamnya. Jaminan Yesus kepada para muridNya dan setiap orang percaya:” Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman (Mat. 28:20) menyatakan kehadiran dan pekerjaanNya yang tetap berlangsung.

PROCLAIMING CHRIST IN THE MIDST OF RELIGIOUS PLURALITY

Dalam pidatonya di Universitas HKBP Nommensen Medan, Indonesia baru-baru ini, Presiden Jerman, Johanes Rau mengatakan pentingnya menyadari dan menerima kenyataan pluralitas agama di dunia. Selanjutnya, ia mengatakan:” Jika kita menutup diri (dalam eksklusivitas keagamaan) berarti kita hidup di luar zaman ini. Jauh sebelumnya, di kalangan WCC, masalah pluralitas agama, khususnya dialog dengan umat muslim sudah mendapat perhatian sejak 1969. WCC telah berhasil melakukan berbagai dialog antar tokoh kedua agama dari berbagai negera dengan berbagai kesepakatan dan

kerjasama konkret pula 2 Dapat dicatat bahwa Mukti Ali, seorang tokoh Islam Indonesia pernah mengikuti pertemuan tokoh agama multilateral yang diadakan WCC di Libanon (1970).

Upaya-upaya berharga demikian perlu direspon dan ditindaklanjuti oleh gereja-gereja anggota (bahkan semua gereja di dunia) sebagai bagian dari tugas panggilan gereja. Sebab sebuah perjumpaan antar umat beragama yang dimotivasi oleh kerinduan terciptanya kehidupan yang lebih baik pantas disambut dan ditekuni. Benar, bahwa dalam dialog-dialog yang dilakukan tidak selamanya tercapai kesepakatan dalam berbagai hal, namun paling tidak bisa tercapai saling pengertian.

Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan dimana semua agama besar dunia juga terdapat di dalamnya telah mengalami pasang surut kualitas hubungan antar agama. Wacana sekitar hubungan antar umat beragama dapat dikatakan mengalami kemajuan pesat dan luas melalui aneka seminar, dialog, kuliah, literatur dan sebagainya, meski dalam tataran prakteknya masih jauh dari yang diharapkan. Memang, Indonesia pernah mendapat pujian dari berbagai kalangan atas keberhasilannya mewujudkan toleransi antara umat beragama 3 Sayang sekali bahwa beberapa tahun terakhir ini pengalaman bangsa Indonesia menyatakan hal yang sangat berbeda. Di beberapa wilayah Indonesia terjadi konflik bahkan kerusuhan berdarah antar umat beragama, khususnya antara Kristen dan Muslim yang telah menelan ribuan korban.

Bagi orang-orang Kristen, wacana seputar pluralitas agama merupakan bagian dari tugas panggilannya di Indonesia. Akan tetapi yang jauh lebih penting dan mendesak mendapat perhatian khusus ialah praksis mengikut Kristus yang mewujud dalam sikap menghargai harkat dan martabat semua dan setiap manusia. Dalam hubungan ini, memberitakan Kristus tidak dimaksudkan bercorak verbalistik belaka melainkan aksi nyata sebagai perwujudan mengikut Kristus. Pemahaman dan sikap demikian sedikitnya mengacu pada pemahaman teologis berikut ini.

1. Keesaan Allah dan Kesatuan Umat Manusia

Alkitab menegaskan bahwa Allah itu Esa (bnd. Yes. 45:5; 46:9; Mrk. 12:29). Ini tidak hanya berarti bahwa orang Kristen memiliki Allah yang Esa, melainkan lebih menegaskan bahwa Allah yang Esa itulah pemilik semua dan setiap manusia. Itu juga berarti bahwa keharusan memelihara relasi yang baik diantara manusia harus bertolak dari kepemilikan dan perlakuan Allah terhadap manusia.

Dalam hal ini, gereja perlu beranjak dari sikap ekklesia sentrisnya sambil dengan rendah hati menyadari keterbatasannya dalam banyak hal, termasuk keterbatasan pengenalannya

pada Allah. Alkitab menyatakan keterbatasan manusia dengan kesempurnaan Allah yang jalan-jalanNya tidak terselami (Rom. 9:1519; Pengkotbah 11:5). Kebenaran yang sempurna hanya ada pada Allah, bukan pada manusia.

Karena itu, hubungan orang Kristen dengan penganut agama lain tidak terjalin atas dasar pemahaman dan penerimaan yang sama terhadap ajaran atau doktrin agama, melainkan atas dasar keragaman dan kesatuan umat manusia berhadapan dengan keesaan Allah.

Ini tidak berarti bahwa perbedaan yang ada dalam setiap agama dihapuskan. Perbedaan harus dengan jujur diakui dan diterima. Namun, perbedaan yang ada harus juga bertemu dalam hal-hal yang “mutlak” terutama dalam sikap pro kehidupan. Dalam hubungan ini, Konsili Vatikan II dengan tepat merumuskan :” Dalam hal-hal yang mutlak ada kesatuan: dalam hal-hal yang berbeda ada kebebasan; dan dalam segala sesuatu ada kasih”.

Orang Kristen mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruslamat dunia. Pengakuan ini tidak bisa ditawar-tawar. Meskipun keyakinan seperti itu tidak diterima penganut agama lain, namun orang-orang Kristen tetap menerima dan memperlakukan sesama manusia sebagai milik Allah yang Esa itu.

2. Hubungan Manusia sebagai sesama Imago Dei

Kejadian 1:26-28 dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia adalah sama-sama gambar Allah. Dalam kaitan itu, hubungan dengan manusia lebih merupakan hubungan sesama gambar Allah. Keberadaan manusia sebagai gambar Allah sedikitnya menyangkut tiga hal :

1. Semua manusia adalah milik Allah

2. Manusia mewarisi sifat-sifat Allah yang pengasih, pemelihara dan berbagai sifat baik lainnya

3. Perjumpaan dan hubungan antar manusia adalah hubungan sesama manusia, sesama gambar Allah

Atas dasar itu, ketika orang Kristen bertemu dengan penganut agama lain, seharusnya yang lebih mengemuka adalah kesadaran bahwa perjumpaan itu terutama merupakan perjumpaan sesama Imago Dei. Kesadaran demikian membuka jalan bagi terciptanya kehidupan yang saling menghargai dan saling menghormati. Sebaliknya, ketika label agama menjadi faktor yang lebih mendominasi, amka kehidupan masyarakat amat rentan pada penunggangan aneka kepentingan yang dapat berujung pada pertentangan bahkan permusuhan antara penganut agama yang berbeda.

Sebagai Imago Dei, penganut agama lainpun dapat menyatakan kasih Allah. Dalam artian ini, orang Kristen dapat menerima kasih Allah melalui perbuatan baik penganut agama lain. Sebaliknya, orangorang Kristen adalah perpanjangan tangan Kristus untuk mengasihi orang lain, termasuk di dalamnya penganut agama lain.

Atas dasar pemahaman itu pula, orang Kristen dengan tegas menolak setiap tindakan kesewenang-wenangan atau kekerasan terhadap manusia tanpa memandang latar-belakang agama. Sebuah contoh yang baik untuk ini tercermin melalui sikap dan seruan PGI yang mengecam serangan teroris ke WTC, New York, September 2001 yang lalu dan invasi militer AS ke Afganistan. Sikap dan seruan ini semata-mata didasarkan atas dasar kemanusiaan.

Pengakuan atas kesamaan manusia sebagai Imago Dei juga berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kejadian 1 menyatakan bahawa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama gambar Allah. Dalam kaitan itu, memberitakan Kristus adalah sungguh-sungguh menyatakan sikap dan perilaku yang mengakui kesetaraan perempuan dan laki-laki. Secara negatif dapat dikatakan bahwa ketika diskriminasi dan ketidakadilan gender merajalela, hal itu menunjukkan pengingkaran terhadap amanat Kristus.

Dalam cerita penciptaan, keberadaan manusia sebagai Imago Dei berkaitan dengan tanggung- jawabnya merawat dan memelihara ciptaan, seirama dengan tindakan Allah yang merawat dan memelihara ciptaanNya. Itu juga berarti bahwa pengakuan akan Kristus sebagai Juruslamat dunia, mengimplikasikan tanggung jawab manusia memelihara ciptaan. Orang-orang Kristen terpanggil menyatakan keperduliaannya pada kelestarian alam ciptaan Tuhan, di tengah krisis ekologi dewasa ini. Dunia yang kian dirasuki roh konsumerisme secara merata diikuti oleh tindakan kekerasan terhadap alam. Dalam kenyataan demikian, memberitakan Kristus sebagai Juruslamat dunia adalah mewujudnyatakan sikap santun dan hormat terhadap alam ciptaan Tuhan.

3. Garam dan Terang Dunia, bukan Garam dan Terang Gereja

Yesus menyatakan, “Kamu adalah garam dunia” dan Kamu adalah terang dunia “(Mat. 5:13-14). Tidak disebut, :” Kamu adalah garam dan terang gereja”. Sebagai garam dunia, pengikut Kristus tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi juga harus memberi cita rasa, mencegah pembusukan dan mengupayakan segala sesuatu yang menopang kehidupan bukan dari dirinya sendiri, melainkan hanya karena Kristus sendiri. Amanat ini kian mengokohkan bahwa memberitakan Kristus tidak hanya melalui kata-kata (apalagi indoktrinasi) melainkan sebagai gerak hidup beriman. Memberitakan Kristus adalah terutama meneladani Kristus.

Inilah yang oleh J.B. Metz disebut sebagai “Kristen yang dapat dimengerti” (intelligibility Christian)`4 artinya, kekristenan tidak dimengerti terutama melalui doktrin dan rumusan-rumusan dogmanya melainkan terutama pada cita rasa kehadirannya yang mencintai rasa kehadirannya, yang mencintai dan membangun kehidupan bersama

Dengan demikian, isi pemberitaan tidak saja tentang Kristus melainkan pemberlakuan amanat Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, yang palingpenting bukan supaya orang tahu apa yang dipercayai orang Kristen, bukan pula rumusan-rumusan doktrin

Kristen tentang kebenaran dan jalan keselamatan, melainkan praktek kehidupan orang-orang Kristen yang menyatakan kasih, kebenaran, keadilan dan cinta kehidupan sebagaimana Kristus telah dan sedang melakukannya.

Memberitakan Kristus tanpa menyebut nama Kristus, atau sebaliknya menyangkal Kristus meskipun mulutnya menyebut nama Kristus bukanlah sesuatu yang asing dalam Alkitab. Dalam kaitan ini, Miranda benar dengan mengatakan: ” God is not God When we try to Approach (God) while avoiding our neighbor 5. Ini mengingatkan kita pada firman Allah, “ Bangsa ini memuliakan namaKu dengan bibirnya tetapi hatinya jauh dari padaKu” (Yes. 29:13).

Secara teologis, hal ini terkait dengan pemenuhan amanat Kristus untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan akal budi serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Sebutan “sesama manusia” disini adalah melintas batas-batas latar-belakang agama, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Dalam artian itu, memberitakan Kristus juga menyangkut bagaimana seorang Kristen memperlakukan semua orang terutama atas dasar sesama manusia. Dengan demikian, orang lain tidak saja mendengar tentang Kasih Kristus, akan tetapi mengalami Kasih Kristus.

Alkitab bersaksi bahwa Allah menghendaki kesepadanan kata dengan perbuatan. Itu sebabnya Allah menolak bahkan membenci ibadah, persembahan, korban dan segala yang berkaitan dengan ritus yang tidak disertai dengan praktek keadilan dan kebenaran (Yes. 1:10-17; Amos 5:21-24)

Yesus sangat tegas menolak formalitas agama yang menghalangi manusia berbela rasa. Ia antara lain menegaskan bahwa bukan manusia untuk Sabat, melainkan sabat untuk manusia. Itu juga berarti bahwa bukan manusia untuk agama tetapi agama untuk manusia. Yesus adalah contoh sempurna bagi agape. Ia menyatakannya dengan menjadi pembela orang miskin dan terabaikan. Ia melanggar hukum sipil dan peraturan agama demi kebutuhan manusia. Mengikut dan memberitakan Kristus berarti memihak pada kebenaran dan mencintai kehidupan.

Cerita tentang orang Samaria yang baik hati menjelaskan bahwa kasih agape tidak pilih kasih. Cerita ini mendefinisikan bahwa semua orang dengan aneka perbedaan latar-belakang bahkan musuh sekalipun adalah sama. Pengajaran dan kehidupan Yesus mengutamakan tindakan mengasihi sambil menolak fanatisme keagamaan. Sebab, orang yang menghargai agama dengan segala ritus-ritusnya tidak menjamin sebuah solidaritas. Tetapi justru yang dipandang kafir dan musuh bangsa oleh Yahudi, mempraktekkan belas kasihan yang nyata. Yesus menyampaikan perumpamaan itu, tidak terutama supaya cerita ini terus diwariskan melainkan lebih menuntut pemberlakuannya secara nyata. Perbedaan latar-belakang agama dan kebangsaan menjadi larut, sebab setiap orang adalah sama.

4. Jalan Salib

Memberitakan Kristus adalah menerima salib sebagai bagian dari konsekuensi mengikuti Kristus. Ini sama sekali tidak berarti orang-orang Kristen mencari salib atau penderitaan ala masokhisme. Tetapi, orang-orang Kristen siap menerima salib sebagai bagian dari ketaatanNya kepada Kristus, kalau harus menghadapinya.

Peran orang Kristen sebagai terang dunia juga menyangkut panggilan memperjuangakan keadilan dalam bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bidang-bidang kehidupan bersama lainnya. Dunia perlu mengetahui bahwa orang-orang Kristen tidak mungkin diam dalam kenyataan berbagai ketidakadilan di tengah masyarakat. Sebab, Kristus sendiri dengan tegas menentang praktek ketidakadilan dan praktek dehumanisasi. Orang Kristen yang memilih jalan kompromi dengan kekuasaan yang lalim, ia mungkin saja tetap sebagai angota gereja namun ia bukanlah pengikut Kristus dalam arti yang sesungguhnya. Yesus Kristus benar-benar anti kekerasan dan mencintai damai sejahtera mengikut Kristus, dengan demikian, adalah masuk dalam gerakNya yang menolak segala bentuk penindasan dan siap menanggung derita kalau harus menghadapinya.

Dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan tidak tertutup kemungkinan bahwa seseorang kristen menghadapi tantangan bahkan penderitaan. Sejarah telah bersaksi kepada kita akan banyaknya orang percaya dan yang harus menanggung kesengsaraan karena perjuangannya demi terwujudnya keadilan dan kebenaran.

Karena itu, memberitakan Kristus adalah juga berisikan perjuangan mengatasi kekerasan, bukan dengan kekerasan baru, melainkan melalui pengorbanan atas dasar kasih agape. Disini gereja dan orang Kristen terpanggil memberi citra diri yang tidak mengherankan tetapi menampakkan wajah yang bersahabat dan pro- kehidupan.

PERANAN CHRISTIAN EDUCATION

Menyikapi pluralotas agama, Gereja hendaknya bergerak to shaping a more comprehensive and coherant theory and practise of Christian education in the contex of religious plurality.

Satu hal yang menggembirakan dan memberi harapan ke depan ialah kenyataan di beberapa Theological Seminaries, khususnya yang tergabung dalam Persekutuan Sekolah Tinggi Teologi se- Indonesia (terutama dari latar-belakang mainline Protestan) yang menyajikan mata kuliah Teologi Religionum, satu mata kuliah yang relatif baru di lingkungan perguruan tinggi teologi. Kehadiran mata kuliah ini merupakan suatu terobosan yang sangat tepat sebagai wujud kesadaran dan keperdulian pada realitas pluralitas agama di Indonesia.

Akan tetapi, dalam pelayanan pengajaran sidi di gereja dan Pendidikan Agama Kristen di sekolah-sekolah umum belum menunjukkan perubahan signifikan. Bagi Indonesia, sama seperti beberapa negara lain, yang mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah

erupakan salah satu kesempatan dimana peserta didik diperlengkapi dengan pemahaman dan sikap yang baik dan benar terhadap penganut agama lain. Peserta didik dapat ditolong untuk melihat dimana pusat rawan konflik dan dimana percakapan dan kerjsama dapat dimulai.

Bagi gereja, hal itu sebenarnya dapat membantu tugas pelayanan katekisasi sidi(confirmation class). Masalahnya ialah bahwa baik dalam materi pengajaran sidi maupun pengajaran agama Kristen di sekolah-sekolah formal, masalah hubungan orang kristen dengan penganut agama lain, sama sekali tidak mendapat perhatian. Sejauh ini, kurikulum PAK di sekolah-sekolah di Indonesia dan materi pengajaran katekisasi sidi di gereja-gereja lebih merupakan “alih pengetahuan doktrin dan tradisi gereja”. Topik pembahasan “kasih” misalnya, tidak secara konkret dikaitkan dengan dasar perilaku terhadap semua orang tanpa memandang latar-belakang agama.

Bahkan, Handbook for Confirmation Ministry yang diterbitkan oleh Lutheran World Federationpun (yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia), terkesan masih membutuhkan beberapa penambahan penting. Sebab, materi yang disajikan belum secara eksplisit menguraikan bagaimana hubungan orang Kristen dengan penganut agama lain sebagai bagian dari tugas panggilan “proclaiming Christ”.

Dunia sedang bergerak ke arah proses pembelajaran holistik. Artinya, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di ruangan kelas tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka itu, isi kurikulum seperti yang dicanangkan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together dapat tercapai.

Sehubungan dengan itu, PAK seharusnya mampu memotivasi peserta didik untuk mencermati persoalan kehidupan. Kemudian, megambil keputusan dalam bersikap berdasarkan nilai-nilai kristiani. Untuk itu PAK dapat dikembangkan berbasis kompetensi yang kristiani, yaitu supaya peserta didik menjadi garam dan terang dunia. Di sini peserta didik difasilitasi untuk:

  1. Tidak bersikap fanatisme sempit tetapi memiliki toleransi yang tinggi
  2. Memiliki kesadaran pentingnya HAM
  3. Memiliki kesadaran hormat terhadap ciptaan Tuhan
  4. Memiliki kesadaran mengembangkan kreativitas
  5. Tidak kehilangan nilai-nilai kristiani dalam menghadapi dan menentukan aneka pilihan

Singkatnya, PAK berbasis kompetensi terfokus pada life center

Dalam kerangka itu, Jack L. Seymour dan Donald E. Miller menawarkan agenda masa depan PAK antara lain 6:

  1. Christian education must seek to recover its historic commitment to social transformation

  1. Christian educators must continue to define Christian ecucation as a central yet distinct ministry of The Curch
  2. The Relationship of developmental psychologial theory to Christian ecucation must be considered
  3. Christian educator must seek to clarify the relationship of christian education to the wider learning enviroment
  4. The foundational relationship for christian education to both educational theory and theology must be explored continually.

Materi dan metode pengajaran Christian Education dan Confirmation class yang baikdan mantap serta kemampuan para pendidik yang baik memang belum menjamin tercapainya tujuan. Akan tetapi materi dan metode yang tidak baik sudah hampir menjamin kegagalan mencapai tujuan.

PENUTUP

Saya menulis artikel ini di tengah suasana Indonesia yang sedang berkabung karena tragedi pemboman di Bali, 12 oktober 2002 yang menelan korban lebih dari 180 orang meninggal dan lebih dari 300 orang luka-luka. Tragedi ini terjadi justru ditengah perjuangan dunia mengatasi kekerasan. Bagaimana peranan agama-agama di tengah merajalelanya kekerasan? Bagaimana memberitakan Kristus di tengah budaya kekerasan yang tengah merasuki hampir seluruh bidang kehidupan umat manusia? Ia pasti menuntut keterpaduan pemberitaan kebenaran Injil dan tindakan konkret. Itu tidak berarti bahwa setiap orang percaya melakukan semua hal, tetapi semua orang percaya melakukan semua tugas panggilan berdasarkan anugerah dan talenta yang dari Tuhan kepada setiap orang percaya.

WTP/ ceramah/fh



1 Selengkapnya lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search og a New Ethic, New York crossroad, 1991

2 Hasil-hasil percakapan selama kurun waktu 1969-1989 lihat kompilasi Stuart E. Brown, Meeting Faith Twenty Years sof Christian- Muslim Conversation Sponsored by the WCC, Geneva: WCC Publication, 1989

3 Lihat misalnya hasil penelitian Gereja Presbyterian Amerika Serikat dalam Byron L. Haines and Frank L. Cooley (eds), Christian and Muslim Together, An Exploration by Presbyterian, The Geneva Press, p.83

4 Selengkapnya lihat Johann Baptist Metz, Faith in History and Society, New York: The Seabury Press, 1980.

5 Quoted by Robert M. Brown, Unexpected News Reading the Bible with Third World Eyes, Philadelphia: Westminster Press, 1984, p.71

6 Jack l. Seymore and Donald E. Miller, Comtemporary Approaches Christian Education, Nashville: Abingdon Press, 1984, pp. 153-156

1 komentar:

Pdt. Happy Pakpahan mengatakan...

Horas Kanda.
Senang bisa bertemu di web blog. Artikel yg menarik. Bangga punya senior member seperti Kanda. Silahkan juga berkunjung ke Blog Saya : http://happypakpahan.blogspot.com
Salam.
Pdt. Happy Pakpahan - Sekretaris PP HKI