Senin, 29 November 2010

IBADAH YANG SEJATI

Mg Rogate, 29 Mei 2011

Mazmur 95:1-7

IBADAH YANG SEJATI

  1. Nas ini termasuk adorasi, artinya: perbuatan ibadah, menyembah dan memuja Tuhan, yang hanya ditujukan kepada Allah dan dilakukan dengan rasa takut akan Tuhan serta dalam kesadaran bahwa diri kita sungguh kecil di hadapan-Nya. Adorasi yang dihayati dengan penuh hormat dan cinta serta dimaknai dengan mendalam akan menuntun ybs kepada suatu sujud syukur kepada-Nya serta menyembah tanpa kata. Mazmur ini memanggil kita untuk memastikan bahwa penyembahan dan pujian kita disertai hati yang taat kepada Tuhan.
  2. Suatu kali Soren Kierkegaard menuliskan sebuah perumpamaan tentang masyarakat bebek yang pada suatu hari Minggu pergi ke gereja untuk mendengarkan khotbah. Begitu mereka masuk ke bait suci, ibadah pun dimulai dengan sangat hikmat dan syahdu. Lantas, sang pengkhotbah mulai berkhotbah dengan sangat indah. Dengan penuh semangat, dia berkhotbah tentang Allah yang begitu baik bagi mereka dengan memberikan sepasang sayap sehingga mereka bisa terbang. Dia membuat para bebek sangat terkesan. Dengan mengangkat paruhnya yang panjang dia berkata, “Dengan sayap ini, tidak ada lagi tempat yang tidak bisa kita datangi. Tidak ada lagi tugas yang diberikan Allah yang tidak bisa kita kerjakan. Dengan sayap-sayap kita, kita tidak perlu lagi hanya berjalan kaki sepanjang hidup kita. Kita dapat terbang tinggi di angkasa.” Khotbah itu ditanggapi para bebek dengan sangat antusias dengan berkali-kali menyahut, “Amin!” Pengkhotbah pun menutup khotbahnya dengan kalimat kesimpulan, “Dengan sayap kita, kita dapat terbang sepanjang hidup kita! Kita dapat terbang....! Sambutan, “Amin!” yang sangat luar biasa pun bergemuruh di dalam gereja itu. Semua bebek menyukai ibadah tersebut. Ketika ibadah itu ditutup, semua bebek merasa bahwa pesan khotbah itu sangat jelas dan sangat pasti. Lalu, mereka meninggalkan gereja itu dan pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki.
  3. Perumpamaan itu bagi kita mungkin sesuatu yang pantas ditertawakan. Mana mungkin bebek bisa terbang sekalipun punya sepasang sayap? Tanpa bermaksud menghakimi, Soren Kierkegaard hendak mengatakan bahwa kebanyakan orang Kristen dalam hal beribadah adalah seperti jemaat bebek tadi. Kita datang dan meninggalkan gereja dengan cara yang selalu sama, tidak tertantang dan tidak berubah. Ini, katanya, adalah sebuah tragedi karena ibadah yang benar seharusnya melibatkan jawaban atau tanggapan kita sendiri atas karunia Allah dengan memberikan hidup kita sedemikian sehingga Dia mengubah kita dan membuat kita menjadi orang percaya yang lebih baik dari sebelumnya. Ibadah yang benar adalah apabila kita mengalami transformasi, sehingga hidup kita adalah hidup seperti dilukiskan Yesaya 40:31, “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
  4. Ibadah yang sekadar menjadi rutinitas seringkali berubah menjadi pertemuan sesama manusia saja. Kita bertemu untuk saling membangun atau saling memberikan dorongan. Hal ini tidak salah, tetapi makna ibadah menurut Alkitab jauh lebih dalam dari hal itu. Kita memasuki sebuah ruang ibadah dengan tujuan melakukan suatu ibadah yang layak bagi Tuhan. Dalam Wahyu 4:11 dikatakan, "Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan." William Temple, Uskup Agung Canterbury, pernah mengatakan, “Ibadah adalah penyerahan seantero keberadaan kita kepada Allah.” Dengan kata lain, ibadah adalah respons atau jawaban totalitas keberadaan seorang manusia kepada hakikat dan perbuatan Allah. Ibadah adalah ketika keterbatasan manusia berjumpa dengan karunia Allah yang melimpah, ibadah adalah pertemuan antara hidup kita dengan kehadiran dan kuasa Allah. Dalam ibadah kita mengalami kebenaran Yakobus 4:8 yang berkata: “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!”
  5. Ibadah yang sejati, itulah yang hendak dipesankan firman Allah kepada kita kali ini. Bagaimana kita dapat berjumpa dengan kasih karunia-Nya di dalam ibadah dan kemudian ditransformasikan dan diubah menjadi murid yang lebih baik? Kita membutuhkan perilaku atau sikap yang layak atau yang seharusnya dalam tiga hal:
  6. Pertama: Sikap yang seharusnya tentang Allah. Dalam ayat 3 nas kita dikatakan, “Sebab TUHAN adalah Allah yang besar, dan Raja yang besar mengatasi segala allah.” Ayat ini menggambarkan kemahakuasaan Allah, ketidakterbatasan-Nya. Allah melampaui segala kebesaran yang dapat dikatakan oleh manusia, Dia melampaui segala apa yang bisa kita ungkapkan mengenai Dia. Dalam ayat 5 dikatakan: “Kepunyaan-Nya laut, Dialah yang menjadikannya, dan darat, tangan-Nyalah yang membentuknya.” Dengan kata lain, apabila kita melihat jagad raya ini sudah seharusnya kita tersungkur di hadapan-Nya. Sikap kita yang semestinya mengenai Allah akan memimpin kita kepada sikap yang seharusnya mengenai diri kita sendiri.
  7. Kedua: Sikap yang seharusnya mengenai diri kita sendiri. Dalam Lukas 5 dilukiskan mengenai Simon Petrus yang melaut di Danau Genesaret semalam suntuk namun mengalami “paceklik ikan” dengan tidak mendapat seekor pun. Yesus lalu menyuruhnya melemparkan jalanya ke tempat yang lebih dalam. Simon yang hampir putus asa menjawab bahwa mereka sudah semalam suntuk menangkap ikan dengan hasil yang sia-sia, “Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Lalu, mereka memperoleh jumlah ikan yang sangat banyak. Begitu Petrus mengetahui hal ini, dia sadar bahwa dia berada di hadapan seseorang yang bukan sekadar manusia, tetapi seorang Kristus yang hidup. Ketika Simon Petrus melihat hal itu dia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa"(Luk. 5:8). Menghabiskan waktu di hadapan Allah membuat kita sadar akan diri kita sendiri, membuka mata kita tentang keberdosaan kita, tentang keburukan pikiran dan perbuatan kita sendiri. Berdiri di hadapan Allah yang mahakasih akan memampukan kita melihat hidup kita dengan jernih lagi. Dengan ibadah yang sejati, kita melihat segala hal berdasarkan sudut pandang Allah. Perspektif Allah inilah yang kita peroleh setiap kita sungguh-sungguh beribadah. Sikap yang seharusnya mengenai diri kita sendiri akan menuntun kita kepada sikap yang seharusnya dalam hidup kita sehari-hari.
  8. Ketiga: Sikap yang seharusnya mengenai hidup kita sehari-hari. Ibadah tidak boleh berhenti dengan pengalaman yang mistis saja. Ibadah harus menuntun dan membawa kita kepada pelayanan yang praktis dalam hidup sehari-hari. Oleh karenanya, hidup nyata sehari-hari adalah kesempatan untuk menyembah Allah. Orang yang sungguh beribadah akan mengikuti petunjuk Paulus dalam Roma 12:1-2: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
  9. Dengan demikian, ibadah bukanlah suatu kegiatan rutin sekali dalam seminggu, melainkan suatu gaya hidup atau pola hidup yang kita peragakan dan praktekkan setiap harinya. Ibadah sejati bukanlah ibadah yang selesai ketika ibadah itu berakhir. Allah justru lebih tertarik dengan buah ibadah itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam Yesaya 1:12-17, Dia berfirman: “Apabila kamu datang untuk menghadap di hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari padamu, bahwa kamu menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!”

AMIN

4 komentar:

Rivai Silaban mengatakan...

makasih amang

Okterlians M Tapilouw mengatakan...

Tulisan yang sangat baik !

P. Sihombing mengatakan...

sangat menyentuh dan menarik syalom

Anonim mengatakan...

Trimakasih Amang 🙏🏻